Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Sekelebat Sinar Sepakbola Tiongkok

7 Maret 2022   12:38 Diperbarui: 7 Maret 2022   12:40 421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
John Hou Saeter, pemain naturalisasi China semasa memperkuat Timnas junior Norwegia (Gol.com)

Bicara soal sepak bola di Asia, ada tim-tim dominan, yang belakangan terlihat superior. Di Timur Tengah, ada Iran, yang belakangan rutin lolos ke Piala Dunia, di Asia Timur, ada Jepang dan Korea Selatan yang masih konsisten

Begitu juga dengan Australia yang muncul sebagai pesaing serius sejak bergabung dengan AFC tahun 2006. Itu masih belum termasuk Arab Saudi, yang belakangan kembali menanjak.

Selain di level antarnegara, negara-negara di atas juga bersaing ketat di level klub. Banyak yang biasa melaju jauh, bahkan menjadi kampiun Liga Champions Asia.

Tapi, pernah ada satu masa, ketika ada negara Asia lain, yang sempat muncul dari bersinar sebentar, yakni Tiongkok alias China. Mereka sempat mencuri perhatian, saat tim nasional dan klubnya bergantian membuat prestasi.

Di level antarnegara, Timnas China pernah lolos ke Piala Dunia 2002 di Korea Selatan dan Jepang bersama Bora Milutinovic, pelatih sarat pengalaman asal Serbia. Inilah penampilan tunggal mereka di Piala Dunia sejauh ini.

Sebelumnya, mereka juga mampu menjadi semifinalis Piala Asia 2000, juga di bawah arahan Bora Milutinovic.

Setelahnya, Tim Naga sempat menjadi finalis Piala Asia 2004 di kandang sendiri. Kala itu, tim asuhan Arie Haan (legenda Timnas Belanda) harus mengakui keunggulan Jepang yang diasuh Zico (legenda Timnas Brasil) dan dibintangi Hidetoshi Nakata dengan skor 1-3.

Di tingkat regional, mereka sempat juara EAFF Cup (Piala AFF nya Asia Timur) tahun 2005, sekaligus menjadi yang pertama sepanjang sejarah.

Di paruh pertama dekade 2000-an, sinar tim nasional Negeri Panda memang tak lepas dari kombinasi antara kehadiran pelatih berpengalaman dan pemain yang merumput di liga top Eropa, misalnya Sun Jihai (Manchester City) dan Li Tie (Everton).

Sun Jihai dan Li Tie (Chinadaily.com)
Sun Jihai dan Li Tie (Chinadaily.com)
Sebenarnya, ada juga Dong Fangzhuo yang pada era ini sempat dikontrak Manchester United-nya Sir Alex Ferguson. Tapi, selama waktunya di kota Manchester, ia hanya tampil 3 kali bersama tim utama, dan lebih banyak beredar di tim cadangan, atau dipinjamkan ke klub lain, akibat terkendala aturan izin kerja di Inggris.

Setelahnya, Timnas China mengalami stagnasi, sekalipun sepak bola nasional di sana coba dibenahi besar-besaran sejak tahun 2010, atau di tahun saat mereka juara EAFF Cup untuk kedua kalinya.

Memang, liga domestik mereka langsung menjadi sangat bergairah, karena ada perusahaan raksasa yang menyuntikkan dana besar ke klub Liga Super Cina, seperti Suning Group dan Evergrande Group.

Berkat suntikan dana besar itu juga, sejumlah pemain kelas dunia, mulai dari Didier Drogba sampai Hulk dan Oscar pun datang. Pelatih berpengalaman seperti Andre Villas-Boas (Portugal), Luiz Felipe Scolari (Brasil) dan Marcelo Lippi pun ikut datang meramaikan.

Hasilnya, Guangzhou Evergrande muncul sebagai juara Liga Champions Asia di tahun 2013 (bersama Marcello Lippi) dan 2015 (bersama Luiz Felipe Scolari).

Bukan cuma itu, tim yang kini (kembali) bernama Guangzhou FC juga sempat dua kali menjadi semifinalis Piala Dunia Antarklub (2013 dan 2015).

Marcello Lippi semasa melatih Guangzhou Evergrande (Goal.com)
Marcello Lippi semasa melatih Guangzhou Evergrande (Goal.com)
Progres di tingkat antarklub ini memang terlihat keren, tapi tidak berpengaruh banyak buat tim nasional. Mereka memang punya Wu Lei, yang bermain di Espanyol, dan sempat menjebol gawang Barcelona, tapi progres mereka cenderung stagnan.

Meski masih mampu menjaga catatan rutin tampil di Piala Asia (sejak 1976), tim negara tuan rumah Piala Asia 2023 ini masih belum mampu bersaing memperebutkan tiket lolos ke Piala Dunia, sekalipun sudah ditangani pelatih sekelas Marcello Lippi, sang juara Piala Dunia 2006 bersama Timnas Italia, dalam dua periode berbeda.

Uniknya, CFA (PSSI-nya China) juga menjajaki opsi naturalisasi pemain, baik yang memang punya garis keturunan China maupun sudah tinggal minimal 2 tahun di sana.

Proyek naturalisasi ini dijalankan, karena meski jumlah penduduknya lebih dari 1 miliar jiwa, dan menjadi salah satu negara dengan penduduk terbanyak di dunia, faktor ini tidak banyak membantu.

Negeri Tirai Bambu ternyata masih kesulitan mencari pesepakbola lokal berkualitas, seiring tingginya minat anak muda di sana terhadap olahraga individu atau beregu, tapi dengan sedikit anggota (misal bulu tangkis atletik atau ping-pong) ketimbang mengolah si kulit bundar.

Alhasil, muncullah nama-nama pemain keturunan China seperti Nico Yennaris dan Tyias Browning (keduanya lahir di Inggris) dan Elkeson (pemain naturalisasi kelahiran Brasil) di Timnas China.

Jumlah pemain naturalisasi di tim negara terluas Asia Timur ini dipastikan bertambah, karena ada beberapa nama pemain naturalisasi yang sudah tuntas prosesnya.

Kebijakan ini dipastikan masih akan berlanjut, karena Liga Super Tiongkok sedang lesu, seiring mundurnya para bos besar klub, seperti yang terjadi di Guangzhou Evergrande dan Jiangsu Suning (yang bubar tahun 2020, tak lama setelah juara liga).

John Hou Saeter, pemain naturalisasi China semasa memperkuat Timnas junior Norwegia (Gol.com)
John Hou Saeter, pemain naturalisasi China semasa memperkuat Timnas junior Norwegia (Gol.com)
Untuk saat ini saja, sudah ada dua pemain keturunan lagi yang sudah dinaturalisasi, yakni John Hou Saeter (Norwegia) dan Roberto Siucho (Peru).

Mereka dinaturalisasi hampir bersamaan dengan beberapa pemain asing seperti Pedro Delgado (Portugal), dan trio Brasil, yakni Alan Carvalho, Fernandinho dan Aloisio.

Apa yang terjadi di sepak bola China, khususnya sedekade belakangan ini menjadi satu penjelasan sempurna, bahwa jumlah penduduk di suatu negara bukan jaminan mutlak sebuah tim nasional akan sukses dan tak akan kesulitan mencari pesepakbola bagus.

Sekalipun kompetisinya gemerlap, karena punya banyak uang, suntikan dana besar yang ada hanya sia-sia, selama sistemnya tak ikut dibenahi. Alhasil, sistem pembinaan pemain yang ada masih belum mampu mencetak banyak pemain berkualitas. Sekali berarti, sudah itu mati.

Memang, ada Brasil yang biasa jadi contoh untuk argumentasi, tapi Negeri Samba sudah punya sistem pembinaan pemain muda yang bagus sejak lama, ditambah bakat alam yang ada memang sudah bagus, lengkap dengan keberanian untuk bermain di luar negeri.

Uang memang bisa mendatangkan pemain bintang, tapi efeknya akan lebih berkelanjutan, jika itu bisa digunakan untuk membangun sistem pembinaan usia muda, yang dapat mencetak pemain top. Karena, sistem pembinaan usia muda yang bagus akan rutin menghasilkan pemain bintang di tiap generasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun