Setelah beberapa bulan menjadi satu gosip, titik terang seputar masa depan Pratama Arhan akhirnya tercapai. Kepastian itu datang, seiring pengumuman transfer sang bek kiri, dari PSIS Semarang ke Tokyo Verdy, klub kasta kedua Liga Jepang, Rabu (16/2).
Melalui situs resminya, klub juara Liga Champions Asia 1987 ini mengumumkan kedatangan Arho, lengkap dengan unggahan video perkenalan di akun media sosial resmi klub.
Di klub asal kota Tokyo, bek spesialis lemparan jauh ini diikat kontrak selama 2 tahun. PSIS bersedia melepas secara gratis, karena klub tujuannya bermain di Jepang.
Seperti diketahui, manajemen Tim Mahesa Jenar, Pratama Arhan, dan sang agen sudah bersepakat, jika klub tujuannya bermain di Korea Selatan, Jepang atau Eropa, si pemain boleh pergi secara gratis.
Kesepakatan ini juga berlaku untuk Alfeandra Dewangga, bintang lokal PSIS lainnya yang disebut-sebut berpeluang pindah ke luar negeri, menyusul penampilan impresif di Piala AFF lalu.
Tapi, dari transfer ini ada satu pola menarik, yang berkaitan dengan peran agen pemain. Selain berkaitan dengan negosiasi, area negara tujuan juga menghasilkan satu pola menarik.
Seperti diketahui, Arhan saat ini diageni oleh Dusan Bogdanovic, sama seperti Egy Maulana Vikri dan Witan Sulaeman, dua bintang Tim Garuda lain yang bermain di luar negeri.
Agen asal Serbia ini memang cukup memahami potensi pemain muda Indonesia, karena pernah bermain di Indonesia. Berbekal jejaring relasi yang dimilikinya di luar negeri, ia bisa memfasilitasi transfer Pratama Arhan ke Jepang.
Sebelumnya, eks pemain Persikota Tangerang ini memfasilitasi transfer Egy Maulana Vikri ke Lechia Gdansk (Polandia) dan FK Senica (Slovakia). Setahun setelah Egy, giliran Witan Sulaeman yang difasilitasi ke Radnik Surdulica (Serbia), Lechia Gdansk (Polandia), dan FK Senica (Slovakia).
Bedanya, Egy dan Witan sudah "go abroad" ke Eropa Timur di usia 18 tahun, sementara Arhan pindah ke Jepang pada usia 20 tahun. Melihat pola ini, bisa dilihat kalau pemain muda Indonesia punya peluang bermain di kompetisi domestik kasta tertinggi negara Eropa (sebagai pemain tetap, bukan trial) di usia 18 tahun.
Dengan catatan, ada masa "sekolah" selama 2-3 tahun, untuk mengasah kemampuannya. Sebagai informasi, usia 18 tahun ini merupakan batas usia minimal transfer internasional, sesuai ketentuan FIFA.
Hal ini agaknya diperhatikan Bogdanovic, karena level kualitas sistem pelatihan di Eropa berbeda dengan di Indonesia dan pemain Indonesia yang ingin awet bermain di Eropa harus siap dilatih ulang secara kontinyu di tim cadangan, sehingga saat dilepas ke klub lain, ia sudah "terbiasa" dan bisa bermain reguler di tim utama.
Di Eropa sendiri, seorang pemain masih bisa diasah kemampuannya sampai usia 23 tahun (U-23), yang merupakan batas usia maksimal pemain akademi. Meski begitu, kemajuan "sport science" belakangan ini menunjukkan tren usia yang semakin muda, dengan rentang usia 16-21 tahun sebagai fase krusial, setelah melewati jenjang usia tingkat junior (7-15 tahun)
Inilah satu alasan, mengapa Egy dan Witan sama-sama lebih banyak bermain di tim U-23, ketimbang tim utama, khususnya pada tahun-tahun awal mereka di Eropa Timur.
Tapi, situasinya sedikit berbeda dengan Arhan yang sudah berusia 20 tahun. Bek asal Blora ini berada dalam situasi seperti Asnawi Mangkualam di Ansan Greeners (Korea Selatan) karena dinilai punya kemampuan di atas rata-rata pemain lokal Indonesia dan dalam posisi "siap pakai".
Artinya, kualitas pemain muda terbaik Indonesia cukup kompeten untuk berlaga di kasta kedua liga top Asia. Tinggal dipoles saja, sebelum akhirnya siap di level atas. Dengan catatan, si pemain tidak buru-buru pulang kampung.
Jika adaptasinya lancar dan bisa bermain reguler, kiprah Arhan bersama Si Hijau mungkin akan baik-baik saja. Peningkatan akan datang seiring waktu, jika ia bisa terus berkembang.
Di sisi lain, kepindahan Arhan ke klub penghuni Stadion Ajinomoto ini juga menunjukkan, usia 20-21 tahun adalah kesempatan terbaik (dan terakhir) buat pemain muda Indonesia untuk berkiprah di negara dengan level kualitas kompetisi terbaik di Asia.
Sekalipun hanya bermain di kasta kedua, ada waktu "sekolah" selama 2-3 tahun, dengan kesempatan bermain cukup terbuka, sepanjang mau diseriusi. Jika sudah berkembang pesat, kesempatan bermain di kasta tertinggi, bahkan merambah ke benua Eropa seharusnya akan terbuka dengan sendirinya.
Kabar pemain muda Indonesia yang "go abroad" memang menyenangkan, tapi semoga kiprah mereka di luar negeri bisa awet dan berkembang, berkat dukungan baik dari semua pihak terkait, termasuk PSSI dan agen pemain.
Dengan begitu, akan ada semakin banyak pemain Indonesia yang berani bermain di luar negeri dan PSSI bisa ikut terpacu untuk memperbaiki kualitas sepak bola nasional. Inilah yang akan membuat Timnas Indonesia semakin baik ke depannya.
Semoga!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H