Bedanya, Egy dan Witan sudah "go abroad" ke Eropa Timur di usia 18 tahun, sementara Arhan pindah ke Jepang pada usia 20 tahun. Melihat pola ini, bisa dilihat kalau pemain muda Indonesia punya peluang bermain di kompetisi domestik kasta tertinggi negara Eropa (sebagai pemain tetap, bukan trial) di usia 18 tahun.
Dengan catatan, ada masa "sekolah" selama 2-3 tahun, untuk mengasah kemampuannya. Sebagai informasi, usia 18 tahun ini merupakan batas usia minimal transfer internasional, sesuai ketentuan FIFA.
Hal ini agaknya diperhatikan Bogdanovic, karena level kualitas sistem pelatihan di Eropa berbeda dengan di Indonesia dan pemain Indonesia yang ingin awet bermain di Eropa harus siap dilatih ulang secara kontinyu di tim cadangan, sehingga saat dilepas ke klub lain, ia sudah "terbiasa" dan bisa bermain reguler di tim utama.
Di Eropa sendiri, seorang pemain masih bisa diasah kemampuannya sampai usia 23 tahun (U-23), yang merupakan batas usia maksimal pemain akademi. Meski begitu, kemajuan "sport science" belakangan ini menunjukkan tren usia yang semakin muda, dengan rentang usia 16-21 tahun sebagai fase krusial, setelah melewati jenjang usia tingkat junior (7-15 tahun)
Inilah satu alasan, mengapa Egy dan Witan sama-sama lebih banyak bermain di tim U-23, ketimbang tim utama, khususnya pada tahun-tahun awal mereka di Eropa Timur.
Tapi, situasinya sedikit berbeda dengan Arhan yang sudah berusia 20 tahun. Bek asal Blora ini berada dalam situasi seperti Asnawi Mangkualam di Ansan Greeners (Korea Selatan) karena dinilai punya kemampuan di atas rata-rata pemain lokal Indonesia dan dalam posisi "siap pakai".
Artinya, kualitas pemain muda terbaik Indonesia cukup kompeten untuk berlaga di kasta kedua liga top Asia. Tinggal dipoles saja, sebelum akhirnya siap di level atas. Dengan catatan, si pemain tidak buru-buru pulang kampung.
Jika adaptasinya lancar dan bisa bermain reguler, kiprah Arhan bersama Si Hijau mungkin akan baik-baik saja. Peningkatan akan datang seiring waktu, jika ia bisa terus berkembang.
Di sisi lain, kepindahan Arhan ke klub penghuni Stadion Ajinomoto ini juga menunjukkan, usia 20-21 tahun adalah kesempatan terbaik (dan terakhir) buat pemain muda Indonesia untuk berkiprah di negara dengan level kualitas kompetisi terbaik di Asia.
Sekalipun hanya bermain di kasta kedua, ada waktu "sekolah" selama 2-3 tahun, dengan kesempatan bermain cukup terbuka, sepanjang mau diseriusi. Jika sudah berkembang pesat, kesempatan bermain di kasta tertinggi, bahkan merambah ke benua Eropa seharusnya akan terbuka dengan sendirinya.
Kabar pemain muda Indonesia yang "go abroad" memang menyenangkan, tapi semoga kiprah mereka di luar negeri bisa awet dan berkembang, berkat dukungan baik dari semua pihak terkait, termasuk PSSI dan agen pemain.
Dengan begitu, akan ada semakin banyak pemain Indonesia yang berani bermain di luar negeri dan PSSI bisa ikut terpacu untuk memperbaiki kualitas sepak bola nasional. Inilah yang akan membuat Timnas Indonesia semakin baik ke depannya.