Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Menyoal Kebijakan JHT BPJS Ketenagakerjaan

14 Februari 2022   21:45 Diperbarui: 16 Februari 2022   22:32 441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kartu BPJS Ketenagakerjaan (Kompas.com)

Dalam beberapa hari terakhir, muncul kegaduhan seputar Permenaker No 2 Tahun 2022 tentang Jaminan Hari Tua (JHT) BPJS Ketenagakerjaan (BPJSTK). Saking hebohnya, muncul petisi online yang mendesak pembatalan aturan ini.

Satu poin yang membuat gaduh adalah, BPJS Ketenagakerjaan baru bisa dicairkan pada saat seseorang berusia 56 tahun ke atas. 

Saya mengkritisi kebijakan ini, karena hanya berdasarkan pada asumsi keadaan normal. Saya tidak tahu apa yang ada dalam pikiran pembuat kebijakan ini, karena mengeluarkan kebijakan berasumsi "normal" dalam situasi "tidak normal" karena pandemi belum beres.

Apakah mereka tidak melihat betul bagaimana kondisi di lapangan?

Di luar alasan "resign", ada satu fenomena umum pada masa pandemi, yakni PHK massal. Untuk perkara ini, pemerintah memang sudah berupaya dengan menyediakan program pelatihan prakerja.

Masalahnya, apakah pemerintah juga memperhatikan nasib iuran BPJS Ketenagakerjaan mereka?

Dengan adanya aturan baru soal JHT BPJS Ketenagakerjaan, saya merasa tak yakin masalah ini juga diperhatikan. Padahal, kalau dijumlahkan, jumlahnya pasti cukup banyak, karena ada banyak pekerja di seluruh Indonesia yang kena PHK massal akibat imbas pandemi.

Saya sendiri termasuk salah satunya. Saya ingat, saat kena PHK massal di kantor, iuran BPJS Ketenagakerjaan sudah setahun lebih berjalan.

Jumlahnya cukup besar bagi saya, tapi saya memilih tidak menuntut itu bisa ditarik semua, karena birokrasi masih berbelit. Kalaupun disetujui perusahaan, masih ada "rintangan terakhir" berupa persetujuan dari pihak BPJS.

Satu hal lagi yang membuat saya ragu adalah sejak awal PSBB (waktu itu), pembayaran iuran rutin BPJS Ketenagakerjaan sudah macet akibat krisis keuangan.

Memang, pemerintah sempat mengeluarkan kebijakan yang membantu masalah ini. Masalahnya, kebijakan ini datang saat setoran iuran BPJS perusahaan sudah macet. Jadi sudah terlambat.

Saya juga mendengar, ada Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) tapi sepertinya belum berjalan dengan baik.

Praktis, sambil bekerja serabutan, satu-satunya yang bisa saya perjuangkan hanya gaji selama 6 bulan (yang sebagian besar berstatus ditahan) dan THR. Selain karena jumlahnya cukup besar buat saya pribadi, ini adalah hak saya.

Jadi, mau tak mau saya menegosiasikan masalah gaji dan THR ini. Syukurlah, masalah ini akhirnya beres, meski tak langsung beres dalam satu kali diskusi.

Soal BPJS Ketenagakerjaan, jujur, saya tidak yakin untuk menariknya, karena situasi "setoran macet" bisa jadi masalah. Saat saya coba menariknya, ternyata tidak bisa, karena belum berusia 56 tahun.

Ironisnya, saat saya menarik sebagian hasil simpanan di reksa dana, tak ada masalah. Padahal, sejak awal masa pandemi, setoran saya praktis macet.

Ini baru satu orang, bagaimana kalau di seluruh Indonesia (ternyata) ada ribuan orang?

Makanya, ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan "JHT 56 tahun" dalam asumsi keadaan normal, saya merasa ini kurang tepat. Selain karena tidak adaptif terhadap keadaan di masa pandemi, masih ada permasalahan lebih mendasar yang perlu dibereskan.

Ada masalah soal iuran BPJS yang macet atau bahkan tidak ada di perusahaan, besaran gaji dan jam kerja yang tidak sesuai peraturan perundang-undangan, dan masih banyak lagi.

Jadi, sebelum mengurus regulasi soal jaminan masa pensiun, pemerintah seharusnya sudah memastikan, setiap masalah pekerja dan "kenakalan" perusahaan sudah beres. Jadi, ada keseimbangan antara hak dan kewajiban.

Jika fondasinya sudah kuat, baru pemerintah bisa membuat kebijakan soal JHT, lengkap dengan ketentuan pada saat darurat, seperti pada saat ada pandemi seperti sekarang.

Ini penting, karena salah satu kunci masa pensiun yang tenang adalah tunjangan pensiun yang terjamin semasa kerja, dan dukungan memadai, termasuk pada saat sulit.

Tenaga kerja memang aset bagi perusahaan dan perekonomian nasional. Tapi, pekerja tetap punya hak yang harus dijamin negara, sekalipun mereka kena PHK. Untuk hal-hal seperti inilah negara seharusnya hadir sebagai pengayom masyarakat, bukan malah membuat kegaduhan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun