Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Manchester United yang "Konsisten" Inkonsisten

13 Februari 2022   12:45 Diperbarui: 14 Februari 2022   11:01 1525
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Konsisten" inkonsisten. Begitulah gambaran awal yang muncul, dari performa Manchester United belakangan ini. Sejak ditangani Ralf Rangnick pada awal Desember lalu, konsistensi performa masih menjadi masalah.

Awalnya, optimisme hadir saat Rangnick datang menggantikan posisi Ole Gunnar Solskjaer yang dipecat karena performa jeblok tim. Maklum, pelatih asal Jerman ini adalah mentor Juergen Klopp dan Thomas Tuchel, dua pelatih jempolan asal Jerman.

Eks pelatih Schalke itu juga dikenal sebagai penemu sistem gegenpressing, yang belakangan jadi ciri khas sepak bola Jerman. Bukan cuma itu, pelatih berusia 63 tahun ini adalah sosok yang turut membangun RB Leipzig menjadi satu tim kuat di Bundesliga Jerman.

Boleh dibilang, Rangnick adalah versi Eropa dari Marcelo Bielsa, pelatih asal Argentina yang juga dikenal dengan "pressing football"-nya dan menjadi mentor pelatih macam Mauricio Pochettino dan Diego Simeone.

Hanya saja, Rangnick punya paket lebih lengkap, karena pernah menjalankan peran di balik layar sebagai direktur teknik.

Berangkat dari reputasi inilah, harapan besar muncul di Old Trafford. Meski hanya bertugas sebagai pelatih sementara, eks direktur teknik Lokomotiv Moscow ini diharapkan mampu membangun kekompakan tim, dan meraih hasil positif dengan gaya main enak dilihat.

Sayang, realitanya tak seindah itu. Meski baru 2 kali kalah di semua kompetisi (0-1 atas Wolves dan kalah adu penalti dari Middlesbrough) dan mencatat 6 kemenangan, performa Si Setan Merah masih belum meyakinkan.

Di satu pertandingan, tim ini terlihat bermain seadanya dan menang, tapi di pertandingan lain, mereka bisa tertahan imbang bahkan tumbang, sekalipun mendominasi jalannya pertandingan.

Teranyar, mereka mencatat 2 hasil imbang 1-1 atas Burnley dan Southampton di Liga Inggris, dalam situasi unggul lebih dulu. Akibatnya, Cristiano Ronaldo dkk tertahan di posisi lima klasemen sementara Liga Inggris.

Cristiano Ronaldo dan Ralf Rangnick (AFP via tribunnews.com)
Cristiano Ronaldo dan Ralf Rangnick (AFP via tribunnews.com)

Situasi ini jelas mengkhawatirkan, karena di kedua pertandingan ini, mereka unggul secara statistik pertandingan, dan berpeluang menang.

Masalahnya, dalam kedua pertandingan ini, tim rival sekota Manchester City ini selalu saja kecolongan di babak kedua, setelah unggul lebih dulu di babak pertama.

Soal organisasi permainan, The Red Devils memang lebih kompak di bawah komando Rangnick, Ada skema dan pressing ketat yang konsisten, dan tak sporadis seperti sebelumnya.

Meski begitu, sistem itu hanya berjalan dengan baik di babak pertama. Di babak kedua, mereka justru kedodoran, dan kerap kecolongan, karena tempo permainan menurun. 

Sebelumnya, ini juga terjadi, saat mereka kalah adu penalti dari Middlesbrough di Piala FA. Waktu itu, Marcus Rashford cs mampu unggul di babak pertama dan bermain agresif, tapi harus puas dengan skor imbang 1-1 akibat kebobolan di babak kedua.

Seperti diketahui, gegenpressing merupakan sistem permainan tempo tinggi, yang membutuhkan kekompakan dan stamina bagus. Jika tidak, semua akan kacau.

Pada tingkat lebih tinggi, ada senjata tambahan lain, yang biasa digunakan, sebagai pengatur tempo permainan, supaya tidak rawan diserang balik dan menjaga tempo permainan tetap tinggi.

Di Liverpool dan Chelsea misalnya, Klopp dan Tuchel sama-sama mengandalkan umpan silang, eksekusi bola mati, umpan langsung dan serangan balik cepat, sebagai fitur "pengatur tempo" strategi gegenpressing mereka.

Kadang, mereka memainkan juga playmaker di lapangan. Liverpool punya Thiago Alcantara, sementara Chelsea biasa mengandalkan Jorginho.

Alhasil, baik Liverpool maupun Chelsea jarang kedodoran di babak kedua, dan mampu mengontrol situasi sepanjang pertandingan.

Bedanya, Klopp cenderung agresif, sementara Tuchel lebih rapat saat bertahan. Inilah yang membedakan keduanya dengan Rangnick, yang lebih banyak menekankan pada pressing ketat yang konstan selama 90 menit.

Hanya saja, sistem pressing ketat ala Rangnick ini tak jalan di United. Kalaupun bisa berfungsi, hasilnya adalah performa inkonsisten tim di kedua babak dalam satu pertandingan.

Ini bisa dimengerti, karena kondisi internal tim bermasalah. Ada yang ngambek dan masa depannya dalam tanda tanya, ada juga yang terpaksa dibekukan akibat tersangkut perkara kriminal.

Kalau sudah begini, sulit untuk mengharapkan Manchester United bisa tampil garang. Ada masalah berlapis di sini: ruang ganti pemain bermasalah, dan sistem permainan kacau.

Di sisi lain, keputusan manajemen MU membawa Rangnick ke Old Trafford sendiri cukup aneh, karena pelatih berpengalaman ini adalah tipe pelatih yang lebih cocok untuk tim yang sedang membangun ulang sistem, bukan tim yang menuntut dampak instan.

Jika situasinya seperti Marcelo Bielsa di Leeds United, hasilnya mungkin akan terlihat dalam waktu 1-2 tahun. Jadi, sekalipun ada setelah naik kelas ada penurunan performa, itu masih bisa diterima, karena terjadi di saat tim sudah naik level secara umum.

Makanya, posisi El Loco di Elland Road masih aman, meski performa Raphinha dkk cukup menurun musim ini.

Masalahnya, manajemen dan sebagian Manchunian tampaknya masih belum menyadari, sekalipun ada Cristiano Ronaldo, Manchester United saat ini adalah tim yang sedang menurun, tidak seperti di era Sir Alex Ferguson dulu.

Keanehan semakin lengkap, karena di saat Rangnick sedang coba membenahi tim setelah kekacauan di akhir era Ole Gunnar Solskjaer, ada ekspektasi tinggi yang menggantung. Padahal, tim saat ini tidak cukup kapabel untuk itu.

Praktis, dengan masa tugasnya yang hanya sampai akhir musim, dan kekacauan yang ada dalam tim saat ini, tak banyak yang bisa diharapkan dari Manchester United, kecuali mereka mendapat keberuntungan luar biasa di sisa musim ini.

Melihat situasinya, bukan kejutan juga kalau eks pelatih Hoffenheim ini nantinya akan lanjut melatih di Teater Impian, khususnya jika pelatih baru gagal didapat.

Memang, nama Mauricio Pochettino (PSG) kembali dikaitkan dengan kursi panas United, tapi dengan situasi ruwet mereka akhir-akhir ini, siapapun pelatihnya akan sama saja. Ini hanya mengulang siklus, yang membuat tim konsisten dengan inkonsistensi mereka.

Kecuali, jika fans dan manajemen mau bersabar, serta membiarkan pelatih membenahi tim dengan leluasa. Dukungan penuh kepada si pelatih ini penting, supaya tim tetap solid sekalipun melepas pemain bintang.

Jika tidak, inkonsistensi MU akhir-akhir ini hanya awal dari level penurunan berikutnya, menuju "masa tidur panjang" sebuah klub raksasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun