Meski dalam perjalanannya kadang bertemu diskriminasi fisik di dunia kerja, karena kondisi disabilitas fisik saya, situasinya masih lebih baik, daripada saya tidak selesai studi, karena saya bukan anak "sultan" atau sebangsanya.
Setelah kuliah, saya memang nyaris tak pernah bertemu lagi dengan "bisnis" ini, dan saat saya pergi ke Jakarta, semua hal tentang itu semakin hilang dari pandangan, jarang terlihat.
Pernah sekali waktu, ada kerabat yang mengajak saya ikut "bisnis" ini di Jakarta, tapi saya waktu itu langsung menolak, setelah mendengar paparan singkat dan hadiahnya. Semua memang terlihat keren, tapi sekali lagi tidak masuk akal.
Sekembalinya saya ke Yogyakarta, ternyata money game masih eksis, kali ini merambah ke sektor digital. Ada yang memakai skema biner, ada yang masih memakai skema piramid.
Seperti pendahulunya semasa saya kuliah dulu, money game ini juga mengedepankan rekrutmen anggota baru, dengan masa manfaat relatif pendek, setelahnya, rugi terus sampai jadi kasus.
Di bulan-bulan awal masa edarnya, saya ingat, money game ini benar-benar hype. Hampir setiap hari saya melihat warna merah dan hijau di media sosial.
Semuanya terlihat keren, karena ada iming-iming pemasukan besar dan berbagai hadiah menarik, sampai pemerintah menertibkan baru-baru ini.
Ternyata, seperti pendahulunya, masalah legalitas, perilaku bermasalah oknum anggota, dan putaran uang yang macet (antara lain karena ditertibkan pemerintah) telah membuat money game ini kolaps.
Alhasil, tak ada lagi warna merah dan hijau wara-wiri di media sosial. Tapi kekhawatiran mulai muncul, karena ada begitu banyak orang yang terdampak, dengan nilai total kerugian mencapai triliunan rupiah.
Di sini, saya kembali lolos, karena sekali lagi sudah paham, skemanya kurang lebih sama. Soal langkah penertiban, pemerintah sudah bertindak tepat, karena yang ditertibkan ini memang ilegal dan berpotensi merugikan banyak orang.Â
Ngerinya, ini juga bisa merusak generasi muda, karena bisa membuat studi terbengkalai. Akibatnya, cari kerja pun sulit.