Bicara soal klub kaya baru, kebanyakan orang mungkin akan langsung menyebut Chelsea, Manchester City dan PSG sebagai cerita sukses yang terkenal. Dengan dukungan dana melimpah dari pemiliknya, ketiga klub ini berubah total.
Dari yang awalnya kesulitan keuangan, menjadi klub yang berani royal membeli pemain bintang. Dari klub tanpa target juara, menjadi klub ambisius, yang sukses meraih trofi domestik, bahkan mencapai final Liga Champions.
Meski terdengar instan, mereka tetap harus berproses, dan punya modal awal untuk lebih dikembangkan. Modal awal ini antara lain berupa posisi awal klub di era pemilik sebelumnya, sebagai fondasi untuk menaikkan level kualitas tim secara umum.
Untuk kasus PSG dan Chelsea, pemilik mereka bisa menaikkan level kualitas tim dengan relatif cepat, karena Les Parisiens dan Si Biru adalah klub yang sebelumnya terbiasa bersaing di papan atas liga, dan kadang lolos ke Liga Champions.
Kedua klub ini juga punya akademi pemain muda yang cukup bagus. Jadi, tinggal diupgrade saja, tanpa perlu dibongkar total atau install ulang.
Hasilnya, selain bisa langsung meraih trofi domestik, mereka sama-sama bisa mencapai final Liga Champions, dalam waktu kurang dari 10 tahun sejak berubah menjadi klub ambisius.
PSG yang dimiliki Nasser Al Khelaifi (Qatar) sejak tahun 2011, lolos ke final Liga Champions musim 2019/2020, atau 9 tahun sejak dimulainya era kepemimpinan sang bos.
Chelsea lebih hebat lagi. Sejak dipegang Roman Abramovich (Rusia) pada tahun 2003, klub asal kota London ini pertama kali lolos ke final Liga Champions musim 2007/2008.
Dalam perjalanannya, tim empunya Stadion Stamford Bridge telah meraih sepasang trofi Liga Europa (2013 dan 2019) dan sepasang trofi Liga Champions (2012 dan 2021), disamping beragam trofi domestik.
Kesuksesan ini tentu tak lepas dari keberanian sang pemilik untuk menggelontorkan dana besar, baik untuk mendatangkan pemain bintang, atau meningkatkan kualitas akademi.
Hasilnya mulai muncul perpaduan antara pemain bintang dan pemain muda berbakat jebolan akademi. Misalnya, kita mulai terbiasa melihat perpaduan antara N'Golo Kante dan Mason Mount di lini tengah Chelsea, seperti halnya Presnel Kimpembe dan Marquinhos di jantung pertahanan PSG.
Situasi kurang lebih mirip sebenarnya juga terjadi di Manchester City. Klub berkostum khas biru langit ini bertransformasi menjadi klub ambisius, sejak dimiliki Sheikh Mansour (Uni Emirat Arab) tahun 2008.
Hasilnya, beragam trofi domestik datang silih berganti, seperti halnya dengan pemain bintang, mulai dari Robinho sampai Jack Grealish. Begitu juga di pos pelatih, mulai dari Roberto Mancini sampai Pep Guardiola sudah didatangkan.
Hanya saja, klub asal kota Manchester ini butuh waktu sedikit lebih lama, untuk bisa tampil di final Liga Champions pertama mereka, yakni pada musim 2020/2021, atau 13 tahun sejak sang bos datang.
Salah satu penyebabnya, fondasi awal City tidak sebagus Chelsea dan PSG. Klub ini sebelumnya adalah klub langganan papan tengah klasemen Liga Inggris, dan sempat naik turun kasta.
Akibatnya, klub rival sekota Manchester United ini harus membangun ulang berbagai aspek. Misalnya, logo klub diperbaharui untuk membangun identitas baru, dan akademi klub direstorasi untuk proyek jangka panjang klub.
Semua itu dilakukan, demi menaikkan level kualitas tim. Makanya, The Eastlands baru mulai rutin meraih trofi domestik dan lolos ke Liga Champions pada musim 2010/2011, sebelum meraih trofi liga pertama mereka, alias pada tahun ketiga dan keempat kepemimpinan Sheikh Mansour.
Dari segi akademi pun, City baru belakangan menuai hasil investasi besar-besaran mereka, saat Phil Foden mulai bersinar di tim utama.
Ini berbeda dengan PSG dan Chelsea yang langsung lolos ke Liga Champions di tahun pertama kepemimpinan bos besar mereka, dan juara liga di tahun keduanya.
Perbedaan ini juga, yang membuat progres Manchester City di Eropa terlihat lambat, masih jarang melaju jauh. Mereka tak punya modal sejarah bagus di masa lalu, sehingga membuat mereka harus membangun sejarah mereka sendiri saat ini.
Situasi seperti di Etihad Stadium ini bisa saja terjadi juga di Newcastle United. Seperti diketahui, klub berkostum zebra resmi menjadi "klub kaya baru" setelah dibeli oleh konsorsium milik Mohammed bin Salman, Pangeran Arab Saudi, pada tahun 2021.
Kedatangan pemilik baru ini memang membuat The Magpies kaya mendadak. Maklum, kekayaan sang Pangeran mencapai angka 320 miliar poundsterling, jauh melebihi kekayaan bos PSG, Chelsea dan Manchester City, sekalipun digabung jadi satu.
Indikasi kekuatan finansial mereka juga terlihat, dari bujet belanja yang mencapai angka 300 juta pounds di bursa transfer musim dingin. Sebuah angka fantastis untuk ukuran klub yang sedang tertahan di zona merah.
Terlepas dari warisan manajemen sebelumnya yang morat-marit, manajemen Newcastle United sejauh ini terlihat punya pola pergerakan cukup rapi, tidak asal-asalan.
Dimulai dari merekrut Eddie Howe di posisi pelatih, dan dilanjutkan dengan merekrut Kieran Trippier dari Atletico Madrid, pergerakan mereka terlihat cukup efektif, dan cukup jago dalam bernegosiasi.
Indikasinya bisa dilihat dari harga transfer Trippier yang "hanya" 12 juta pounds. Â Sebelumnya, Atleti diketahui sempat memasang banderol 30 juta pounds, saat Manchester United menaksir bek sayap Timnas Inggris itu.
Melihat situasinya, progres di Saint James Park tampaknya akan sedikit lebih lambat dari Manchester City. Meski sempat menjadi pesaing papan atas sampai awal tahun 2000-an, kala diperkuat Alan Shearer, The Toon Army belakangan sempat bermain di kasta kedua.
Jadi, perlu waktu sedikit lebih lama lagi, untuk menjadikan mereka seperti City. Pertama-tama, dimulai dari lolos degradasi musim ini, lalu stabil di papan tengah, sebelum akhirnya naik tingkat lagi menjadi penantang papan atas.
Untuk jangka pendek, tidak terdegradasi saja sudah merupakan suatu prestasi tersendiri buat rival abadi Sunderland.
Dengan dana besar pemiliknya, Chelsea, Manchester City, dan PSG, telah menghadirkan suatu warna baru, di sepak bola modern, sekaligus mendobrak tatanan klasik yang sudah ada selama ini.
Meski begitu, mereka tetap butuh waktu, sebelum akhirnya meraih prestasi. Waktunya beragam, sesuai dengan situasi dan kondisi klub masing-masing.
Tidak ada yang benar-benar pasti dengan segera, tapi inilah yang membuatnya menarik, karena semua kemungkinan masih bisa terjadi. Persis seperti pemeo "bola itu bundar".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H