Bicara soal "gegenpressing", sebagian orang mungkin akan mengkaitkannya dengan sosok Juergen Klopp atau sepak bola Jerman era kekinian.
Itu wajar, karena "pressing" menjadi elemen kunci tren taktik sepak bola khas Jerman, yang belakangan turut menjadi tren taktik sepak bola skala global.
Di Liga Inggris saja, selain Klopp, ada juga Thomas Tuchel (Chelsea) dan Ralf Ragnick (Manchester United) yang berstrategi mirip, dengan gaya masing-masing, dan sama-sama berasal dari Jerman.
Ragnick sendiri dikenal sebagai "penemu" sistem gegenpressing di Jerman. Boleh dibilang, dia adalah versi Eropa dari Marcelo Bielsa, karena telah menginspirasi pelatih-pelatih di Jerman, termasuk Klopp dan Tuchel.
Itu masih belum ditambah Ralph Hassenhuttl (Southampton), pelatih asal Austria yang juga eks anak didik Ralf Ragnick. Atau, Antonio Conte (Tottenham Hotspur) yang dikenal punya "gegenpressing" versi Italia, dan Marcelo Bielsa dengan gaya Latino di Leeds United.
Dalam kondisi ideal, "gegenpressing" adalah strategi yang cukup enak dilihat, karena ada transisi cepat dan tekanan konstan, yang membuat pertandingan berlangsung seru. Tak ada alasan untuk mengantuk karena bosan.
Masalahnya, jika strategi ini berjalan dalam kondisi tak ideal, skema permainan jadi berantakan. Contoh aktualnya hadir, saat Wolverhampton Wanderers menumbangkan Manchester United 0-1 di Old Trafford, Selasa (4/1, dinihari WIB).
Dalam laga ini, Si Setan Merah terjebak dalam situasi kurang ideal, karena Wolves punya kontra strategi ampuh, yakni dengan membiarkan lawan unggul penguasaan bola.
Strategi ini biasanya membuat permainan tim dengan strategi "gegenpressing" kurang berkembang. Mereka justru mampu berkembang saat kalah penguasaan bola, karena bisa bermain lebih efektif. Ada celah sedikit saja, langsung menyerang.
Taktik ini kurang ideal untuk tim yang unggul penguasaan bola. Kecuali, jika tim tersebut punya playmaker jempolan, atau punya pemain-pemain cepat.