Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Momen Unik di Nepa Cafe

13 Desember 2021   04:34 Diperbarui: 13 Desember 2021   06:15 454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pak Rahmat Hadi (kanan) dan Umesh, tamu kejutan dari Nepal (Dok. Event Mountain Day KOTEKA SPIN)

Selama aktif berkomunitas di KOTEKA Kompasiana, saya biasa ikut webinar tiap akhir pekan, khususnya jika tidak sedang berhalangan.

Awalnya, ikut webinar dan membuat tulisan dari situ, sempat membuat saya harus beradaptasi dengan dua hal. Pertama, kecepatan pembicara, dan bagaimana proses merangkai tulisan dari acara webinar.

Sebelum ini, saya terbiasa menulis langsung, sebelum akhirnya harus beralih ke cara tidak langsung, dengan merangkai kerangka gagasan dulu, sebelum akhirnya merangkai lagi ke dalam tulisan. Saat itu, perubahan cara ini saya lakukan, untuk menyiasati suasana cukup bising di sekitar rumah.

Alhasil, saya mulai terbiasa dengan metode menulis yang adaptif: langsung saat suasana tenang, dan tidak langsung saat suasana cukup ramai.

Cukup sampai disitu?

Ternyata belum.

Pada Minggu (12/12) saya sekali lagi mendapat pengalaman baru dalam hal tulis-menulis.

Dalam rangka memperingati Hari Gunung Internasional 2021, yang diperingati setiap tanggal 11 Desember, KOTEKA Kompasiana mengadakan diskusi seputar trekking ke kawasan Pegunungan Himalaya. Untuk pertama kalinya, saya berkesempatan menjumpai webinar online dan offline secara bersamaan. Boleh dibilang, ini adalah event "campuran" pertama saya.

Saya sendiri memilih untuk datang secara langsung, untuk mewakili komunitas KOTEKA Kompasiana di lokasi. Kebetulan, lokasi Nepa Cafe terletak tak terlalu jauh dari rumah saya. Masih satu kabupaten, hanya beda kecamatan.

Event campuran ini menjadi sebuah momen, yang kembali membuat saya belajar beradaptasi, sambil menyiasati suasana. Kali ini, saya merekam langsung audio sepanjang acara utama diskusi, yang berdurasi sekitar satu setengah jam.

Maklum, suasananya cukup ramai, karena ada deru kendaraan bermotor yang sesekali lewat di jalan depan kafe. Tantangan semakin lengkap, dengan tempo diskusi yang mengalir cukup cepat. Rasanya persis seperti saat sedang menonton aksi Liverpool di Liga Inggris.

Event ini sendiri saya sebut "campuran", karena melibatkan peserta baik melalui zoom maupun secara langsung di Nepa Cafe. Kafe bernuansa Himalaya-Nepal ini terletak di Condongcatur, Sleman, Yogyakarta.

Suasana di Nepa Cafe (Dok. Event Mountain Day KOTEKA SPIN)
Suasana di Nepa Cafe (Dok. Event Mountain Day KOTEKA SPIN)
Di sini, KOTEKA Kompasiana bekerja sama dengan Nepa Cafe, dan SPIN (Sekolah Petualangan Indonesia, diwakili oleh Pak Irman Ariadi). SPIN sendiri merupakan lembaga pendidikan yang fokus pada aktivitas outdoor, khususnya pendakian gunung.

Peran ketiganya menjadi satu paduan unik. Ada komunitas pendaki gunung, yang tertarik menggandeng KOTEKA Kompasiana sebagai mitra untuk dokumentasi, khususnya dokumentasi penulisan, bersama kafe yang bukan sembarang kafe, karena peran uniknya.

Saya sebut unik, karena tuan rumah Nepa Cafe, yakni Pak Rahmat Hadi ternyata juga merupakan seorang penulis sekaligus pendaki gunung.

Sebelum ini, tepatnya dalam webinar KOTEKA Kompasiana pada tanggal 2 Oktober 2021 silam, Pak Rahmat Hadi sempat menceritakan seputar pengalaman pendakiannya ke Nepal, yakni menuju basecamp Gunung Everest dan Annapurna. Momen ini secara spesifik saya tuliskan, dalam artikel berjudul "Cerita dari Atap Dunia", yang dapat Anda jumpai disini.

Kedua pengalaman ini telah dibukukan dalam buku berjudul "Menggapai Puncak Himalaya" dan "Himalaya 7.9 Magnitudo". Kedua buku ini menjadi hadiah doorprize utama, dalam acara bersama KOTEKA Kompasiana dan SPIN.

Kedua pengalaman di Nepal ini menjadi garis besar pemaparan Pak Hadi. Nepal sendiri menjadi "highlight", karena negara tanpa laut ini menjadi rumah bagi 8 dari 10 gunung tertinggi di dunia, yang berketinggian lebih dari 8.000 meter dpl, termasuk Gunung Everest (8.848 meter dpl), sang gunung tertinggi di dunia.

Selebihnya, penjelasan seputar pendakian ke Himalaya, khususnya Nepal, ikut dilengkapi dengan penjelasan teknis soal hal-hal yang perlu disiapkan. Ada persiapan fisik, persiapan mental, persiapan dokumen administrasi (sudah bisa secara online), biaya, paspor, perlengkapan mendaki gunung yang lengkap, asuransi jiwa, sampai keharusan untuk bisa (minimal sedikit) berbahasa Inggris.

Semua harus dipersiapkan secara detail dengan benar, dalam waktu tidak sebentar, dan biaya yang tidak sedikit. Tapi, karena ketatnya aturan karantina turis asing di Nepal saat ini, pendakian ke kawasan Himalaya tidak disarankan, kecuali jika si pendaki punya budget level sultan.

Event campuran ini semakin unik, karena kehadiran Umesh, warga negara Nepal yang ikut hadir, setelah sehari sebelumnya secara kebetulan mampir ke Nepa Cafe. Sebuah kebetulan yang menyenangkan.

Pria yang cukup fasih berbahasa Indonesia ini ikut memberikan sejumlah informasi tambahan, dalam sudut pandangnya sebagai orang Nepal. Dari sini, sesi tanya jawab yang ada jadi semakin relevan, karena ada sekilas gambaran umum tentang beragamnya suku dan bahasa lokal di Nepal.

Pak Rahmat Hadi (kanan) dan Umesh, tamu kejutan dari Nepal (Dok. Event Mountain Day KOTEKA SPIN)
Pak Rahmat Hadi (kanan) dan Umesh, tamu kejutan dari Nepal (Dok. Event Mountain Day KOTEKA SPIN)
Uniknya, ada perspektif lokal dari orang Nepal soal ciri khas gunung, yakni bersalju. Kalau tidak bersalju, belum bisa disebut gunung. Ini bisa dimengerti, karena gunung-gunung tertinggi di Nepal umumnya bersalju.

Sebenarnya, setelah acara utama selesai, masih ada rangkaian acara lain, tapi saya dan beberapa teman dari K-JOG memilih pulang setelah acara utama selesai, karena pertimbangan masing-masing.

Tapi, ada dua pesan cukup tegas yang sempat disampaikan di sini. Pertama, jika kita punya keinginan kuat dan mau menekuninya, selalu ada jalan, sekalipun caranya tak terduga. Kedua, perbedaan, misalnya soal warna kulit dan gender adalah suatu keunikan, bukan untuk dipersoalkan.

Pada akhirnya, saya juga perlu berterima kasih, karena suguhan kopi dari Kopi Nepa sudah memberikan tenaga ekstra, yang memampukan saya untuk menuntaskan draf tulisan ini dengan lancar, sebelum akhirnya ditayangkan di pagi hari. Meski tanpa gula, efeknya terbukti ampuh, seperti seorang playmaker jenius di sebuah tim sepak bola.

Cheers!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun