Jujur saja, cara pandang ini membuat saya merasa miris. Diskriminasi terhadap penyandang disabilitas di negeri ini ada. Ia nyata, dan bahkan membudaya, karena sudah ada sejak masih dalam pikiran.
Inilah yang mengerikan. Jika cara pandang ini berasal dari ajaran agama tertentu, sebenarnya tidak akan jadi masalah. Dengan catatan, ajaran yang ada di sana tidak dijalankan dengan salah kaprah.
Agama sendiri pada dasarnya berperan sebagai satu pegangan, supaya hidup manusia tidak menyimpang. Jika ternyata ada penyimpangan, itu bukan salah agamanya, tapi salah manusianya, karena sudah salah kaprah dalam memahami konteks. Kalau sudah begini, wajar jika ada yang menyimpang.
Jika cara pandang ini berasal dari pandangan budaya, jika sikapnya menyimpang, ini jelas tidak benar. Budaya sendiri ada, untuk mengatur kehidupan sosial. Masalahnya, penyimpangan ini menjadi "benar" karena terlanjur membudaya, dan bukan dianggap sebagai satu kesalahan.
Inilah mengapa, perilaku "bullying" dan diskriminasi, termasuk pada penyandang disabilitas bisa membudaya. Tidak dilawan makin tersiksa, jika dilawan si korban yang justru merasa diserang.
Pada masa kecil dan remaja dulu, saya cukup sering melihat (dan mengalami) ejekan karena kondisi fisik saya. Jika pelakunya masih bocah, biasanya saya hanya tertawa sinis sambil berlalu, karena ini sering terjadi di jalanan, saat saya sedang berjalan sendirian.
Namanya juga bocah, belum sepenuhnya bisa berpikir secara rasional. Kalau mereka bisa menerima saat balas diejek, itu justru akan bisa mengakrabkan. Kebetulan, ini terjadi pada saya dan teman-teman dekat. Relasi kami terbilang awet, salah satunya karena ada keadilan sederhana seperti ini.
Masalahnya, tidak semua orang bisa bersikap seperti itu. Ada yang kelewat menindas, keroyokan pula, tapi sekali dilawan balik, mereka malah akan jadi pihak yang merasa paling tersakiti. Lucunya, sebagian dari mereka juga akan menganggap ini adalah perkara menang atau kalah.
Mereka tak segan-segan menjelekkan kita di depan orang lain, tanpa sepengetahuan kita, dan menganggap ini bukan kesalahan, karena sudah "dibenarkan" secara budaya. Padahal, kalau boleh jujur, ini adalah perkara yang "kalah jadi abu, menang jadi arang".
Sekalipun bisa langsung pulih, tetap butuh waktu untuk merelakan. Bagi yang menghadapi sendirian, untuk beberapa waktu, itu akan jadi satu ingatan traumatis. Sepengalaman saya, itu tidak mungkin dihapus total dari ingatan, hanya bisa direlakan.
Ini sedikit mirip dengan korupsi. Di ajaran agama apapun dan budaya manapun, korupsi adalah satu kejahatan. Tapi, karena sudah terlanjur membudaya, ini masih dipandang sebagai satu kewajaran, khususnya bagi mereka yang sudah sangat tamak.