Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Disabilitas, Secuil Sudut Pandang

3 Desember 2021   11:34 Diperbarui: 4 Desember 2021   15:23 1071
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam hal mencari kerja (dan mendapatkannya) banyak orang yang mungkin harus berjuang ekstra keras, tapi harapan bagi mereka masih lebih terbuka. Khususnya, bagi mereka yang "normal" secara fisik.

Setidaknya, mereka tidak akan dicoret langsung pada "pandangan pertama" atau digantung terlalu lama. Kalaupun iya, indikasinya bisa langsung dilihat. Tanpa ada kata-kata ala motivator, mereka bisa langsung tahu, apa yang didapat dan bisa langsung "move on".

Situasinya berbeda buat penyandang disabilitas, karena sistem yang ada di Indonesia masih belum sepenuhnya bisa dipercaya. Contoh paling klasik, sekaligus "filter" alaminya adalah syarat "sehat jasmani rohani".

Kalau sudah ada syarat ini, pilihan yang ada cuma mundur, karena ini adalah tanda "verboden" bagi penyandang disabilitas. Daripada mental jadi penyok atau ringsek karenanya, sebaiknya balik kanan.

Pada titik ini, kadang saya merasa jengkel, karena setelah melewati rentetan gangguan "bullying" di masa sekolah, terutama di masa remaja, lengkap dengan bonus diskriminasi fisik dan sedikit trauma, perlakuan kurang mengenakkan kembali datang saat mencari kerja.

Senajis itukah?

Undang-undang tentang disabilitas memang ada, tapi realitanya tak seindah aturannya. Ini masih negeri di mana aturan ada untuk dilanggar.

Oke, saya memang sempat mendapat pekerjaan di ibu kota. Masalahnya, ketika pandemi datang, saya terpaksa harus kembali menjadi pekerja serabutan, kalau tidak boleh dibilang freelance.

Inilah satu-satunya pilihan tersisa, karena kesempatan yang ada sangat terbatas. Sebelum pandemi saja sudah terbatas, apalagi saat pandemi datang.

Jika mendapat tempat kerja yang budayanya sehat, rasa lelah karena bekerja akan terasa sangat menyenangkan. Kalau tidak, ini adalah satu mimpi buruk yang jadi kenyataan. Lelah luar-dalam dan tertabrak drama-drama yang seharusnya hanya perlu ditonton.

Masalahnya, di antara pilihan terbatas yang ada, durasi kerjanya hanya sebatas magang atau kontrak jangka pendek. Penuh ketidakpastian dan tidak ada keberlanjutan.

Situasinya kurang lebih seperti kerja serabutan. Terombang-ambing dari satu magang ke magang lain, dari satu project ke project lain. Serasa naik jet coaster.

Padahal, sama seperti orang-orang yang "normal" secara fisik, penyandang disabilitas pun perlu kepastian dalam hidup. Ada pekerjaan tetap yang bisa diandalkan, supaya minimal bisa mandiri.

Sebenarnya sesederhana itu, tapi solusi yang ada begitu minim, karena kata kunci "inklusivitas" yang selama ini digembar-gemborkan masih belum benar-benar punya keberlanjutan.

Ironisnya, meskipun "inklusivitas" banyak digembar-gemborkan, komunitas penyandang disabilitas pada umumnya malah terlihat punya kesan "eksklusif". Dalam artian, mereka cenderung hanya berkumpul dan membaur dengan sesama penyandang disabilitas, tapi nyaris tak pernah membaur dengan mereka yang "normal".

Bagi saya yang sejak sekolah terbiasa menjadi "makhluk asing" diantara teman-teman yang normal secara fisik, lingkungan "eksklusif" ini justru menjadi satu "culture shock". 

Bukan hanya karena homogenitasnya, tapi juga karena sebagian dari mereka (ternyata) masih banyak berkutat pada hal-hal sangat mendasar, seperti pro kontra soal penggunaan istilah "tuli" dan "tunarungu", dan keheranan soal istilah penyandang disabilitas, yang dalam bahasa Indonesia kebanyakan berawalan "tuna".

Di sini, saya sempat sedikit membantu menjelaskan, dengan menggunakan KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) daring, karena ada penjelasan dengan pertimbangan etika dan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Jadi, ada sedikit informasi, mengapa instansi resmi selalu memakai istilah berawalan "tuna" tadi, karena bahasa resminya memang seperti itu.

Masalahnya, sebagian dari mereka malah berargumen dengan mengedepankan sisi sentimental, tidak nyambung dengan konteks. Kalau sudah begini, sulit untuk membahas masalah solusi pemberdayaan disabilitas, levelnya sangat jauh berbeda.

Lupakan dulu soal membaur dengan mereka yang normal secara fisik. Ekosistem yang ada bahkan masih belum mempersiapkan sampai ke sana. Belum ada solusi yang benar-benar bisa diandalkan.

Kalaupun ada, alternatif solusi yang ada masih sebatas saran, itupun terbatas sekali. Biasanya, saran yang diberikan paling jauh cuma sebatas "memulai bisnis sendiri". Kedengarannya keren, tapi ini bisa menjerumuskan.

Soal memulai bisnis, tanpa ada keterampilan dan dana cukup, seseorang memang masih bisa meminjam uang dari bank dan mempekerjakan tenaga terampil. Tapi, ini hanya bagus untuk jangka pendek.

Dalam dunia bisnis yang serba dinamis, ditambah adanya pandemi seperti sekarang, berutang, apalagi dalam jumlah besar, risiko gagal bayarnya terlalu tinggi.

Apalagi, jika ada bunga di sana. Utang tidak mengenal apakah yang berutang itu seorang penyandang disabilitas atau tidak.

Kalau sudah terjebak dalam kubangan utang, siapa bisa menolong?

Punya ide berwirausaha itu bagus, tapi untuk sampai ke sana, ada banyak hal yang harus dibangun dari bawah, supaya bisa berkelanjutan. Ada dana, keterampilan, jejaring relasi, sampai strategi. Tanpanya, berwirausaha hanya sebentuk upaya bunuh diri.

Makanya, ketika belakangan mulai muncul platform pencarian kerja, yang secara khusus menyasar penyandang disabilitas, saya mulai iseng mencoba, dengan sasaran utama pekerjaan tetap. Jika masih sesuai kualifikasi, pergi merantau lagi pun tak jadi soal.

Sebagai seorang penyandang disabilitas sejak lahir, saya mensyukuri keberadaan platform seperti ini. Ada sedikit kesempatan, walaupun pilihannya masih didominasi kerja magang, kontrak jangka pendek, atau pelatihan jangka pendek. Tinggal isi form di g-form, selebihnya tunggu panggilan.

Sepintas ini praktis, tapi ternyata masih belum bebas masalah. Secara umum, cara "follow up" mereka kadang terkesan agak seenaknya. Datang tiba-tiba dengan informasi lowongan kerja, dengan tuntutan untuk segera mengirim CV, dilanjutkan dengan wawancara dalam waktu yang berdekatan.

Setelah semua itu dituruti, tak ada lagi kabar beritanya. Saat virus corona varian delta meledak di Indonesia beberapa waktu lalu, sikap ini masih bisa dimengerti, karena situasinya sedang sulit. Berkas yang diminta pun standar, tak sampai meminta data pribadi seperti ijazah, surat keterangan dokter, atau sejenisnya.

Tapi, saat mencoba platform sejenis yang lain, di lain kesempatan, caranya agak berbeda. Berawal dari iseng-iseng mengisi link g-form di media sosial platform itu pada akhir Oktober lalu, saya lalu berkesempatan menjalani rangkaian interview user secara virtual, dengan sebuah BUMN yang bergerak di sektor finansial.

Tak ada yang janggal di sini, karena dalam wawancara yang dilakukan secara virtual itu, semuanya standar. Masalahnya, situasi yang datang setelahnya sedikit menjengkelkan.

Tak ada lagi komunikasi intens, tak ada lagi kejar-kejaran soal pemberkasan yang harus dipersiapkan. Rasanya seperti kena ghosting, karena mereka seperti hilang tanpa jejak.

Komunikasi baru terjalin lagi, setelah ter-ghosting selama dua minggu. Itupun dengan posisi yang terkesan menggantung. Rasanya seperti disandera, karena masih belum ada kejelasan. Andai komunikasinya benar-benar terbuka sejak awal sampai akhir, seharusnya ini akan sangat membantu.

Alhasil, saya memilih kembali bergerak dulu sebagai pekerja serabutan. Daripada menunggu dalam diam, lebih baik menunggu dengan bergerak, supaya nanti tidak kebingungan saat harus bergerak.

Dengan semua keruwetan yang sudah atau sedang saya alami, dalam kondisi sebagai seorang penyandang disabilitas, wajar jika saya belum lama tahu, kalau ada hari peringatan khusus, yang bahkan diperingati setiap tahun secara internasional. Ada atau tidak, efeknya belum benar-benar terasa.

Kalau boleh jujur, peringatan Hari Disabilitas Internasional, yang jatuh pada tanggal 3 Desember, masih terkesan seperti sebuah kampanye media sosial. Belum ada dampak yang nyata, karena budaya yang ada di negara ini belum sepenuhnya ramah kepada penyandang disabilitas.

Kalau memang ingin menciptakan dampak yang luas, seharusnya ini bisa jadi momentum, untuk mencari cara tentang bagaimana supaya bisa benar-benar memberdayakan penyandang disabilitas secara berkelanjutan, supaya mereka bisa hidup mandiri, dan tak merasa terasing karena kondisi fisik mereka. Dengan demikian, kata kunci "inklusif" bisa menjadi sesuatu yang nyata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun