Tak ada lagi komunikasi intens, tak ada lagi kejar-kejaran soal pemberkasan yang harus dipersiapkan. Rasanya seperti kena ghosting, karena mereka seperti hilang tanpa jejak.
Komunikasi baru terjalin lagi, setelah ter-ghosting selama dua minggu. Itupun dengan posisi yang terkesan menggantung. Rasanya seperti disandera, karena masih belum ada kejelasan. Andai komunikasinya benar-benar terbuka sejak awal sampai akhir, seharusnya ini akan sangat membantu.
Alhasil, saya memilih kembali bergerak dulu sebagai pekerja serabutan. Daripada menunggu dalam diam, lebih baik menunggu dengan bergerak, supaya nanti tidak kebingungan saat harus bergerak.
Dengan semua keruwetan yang sudah atau sedang saya alami, dalam kondisi sebagai seorang penyandang disabilitas, wajar jika saya belum lama tahu, kalau ada hari peringatan khusus, yang bahkan diperingati setiap tahun secara internasional. Ada atau tidak, efeknya belum benar-benar terasa.
Kalau boleh jujur, peringatan Hari Disabilitas Internasional, yang jatuh pada tanggal 3 Desember, masih terkesan seperti sebuah kampanye media sosial. Belum ada dampak yang nyata, karena budaya yang ada di negara ini belum sepenuhnya ramah kepada penyandang disabilitas.
Kalau memang ingin menciptakan dampak yang luas, seharusnya ini bisa jadi momentum, untuk mencari cara tentang bagaimana supaya bisa benar-benar memberdayakan penyandang disabilitas secara berkelanjutan, supaya mereka bisa hidup mandiri, dan tak merasa terasing karena kondisi fisik mereka. Dengan demikian, kata kunci "inklusif" bisa menjadi sesuatu yang nyata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H