Di sepak bola modern, tak banyak pelatih yang bisa awet melatih satu klub sampai lebih dari 10 tahun. Kecuali, selama bertugas ia mampu memberikan prestasi luar biasa, seperti pada kasus Arsene Wenger (1996-2018) di Arsenal, atau Sir Alex Ferguson (1986-2013) di Manchester United.
Fenomena serupa juga terjadi di tingkat antarnegara. Di Eropa, ada Joachim Loew (2006-2021) yang meraih trofi Piala Dunia 2014 bersama Timnas Jerman, atau Morten Olsen (2000-2015) di Timnas Denmark.
Selebihnya, semua datang dan pergi, termasuk Vicente Del Bosque (2008-2016) yang meraih trofi Piala Dunia 2010 dan Euro 2012 bersama Timnas Spanyol.
Pemandangan ini lebih langka lagi di Amerika Selatan, benua yang dikenal "gila bola". Maklum, tingginya ekspektasi di sana membuat bongkar-pasang di pos pelatih Timnas negara-negara Amerika Selatan sering terjadi.
Tapi, apa yang terjadi di Timnas Uruguay menjadi satu anomali. Negara juara dunia dua kali ini cukup awet dilatih oleh Oscar Tabarez.
Pelatih kelahiran tahun 1947 ini mulai bertugas (lagi) menjadi "entrenador" Los Charruas sejak tahun 2006. Momen ini terjadi tak lama setelah Alvaro Recoba dkk gagal lolos ke Piala Dunia 2006, usai kalah adu penalti atas Australia di babak play-off.
Sebelumnya, pelatih berjuluk El Maestro (Sang Guru) ini sempat melatih Timnas Uruguay pada periode 1988-1990. Di bawah arahannya, Si Biru Langit yang dimotori Enzo Fransescoli lolos ke babak perdelapan final Piala Dunia 1990.
Periode pertamanya hanya berlangsung sebentar, dan ia hanya mengarahkan tim yang sudah "jadi" dan sebelumnya sudah berpengalaman tampil di  Piala Dunia 1986 di Meksiko, plus juara Copa America 1987 di Argentina.
Situasinya berbeda di periode kedua, karena eks pelatih Boca Juniors ini ditugasi membangun ulang dan menetapkan filosofi tim.
Kebetulan, saat itu filosofi sepak bola khas Uruguay, yakni "garra charrua" sudah dianggap usang, karena terlanjur lekat dengan permainan defensif yang keras menjurus kasar. Kreativitas hanya milik pemain nomor 10 seperti Fransescoli atau Recoba. Selebihnya, tak ada yang istimewa.
Masalah makin lengkap, karena regenerasi pemain Timnas Uruguay tergolong mandek. Akibatnya, sejak periode pertama Tabarez selesai  mereka hanya mampu lolos ke Piala Dunia 2002.
Sederhananya, eks pelatih AC Milan ini bertugas meng-install ulang Timnas Uruguay. Sebuah tugas yang cukup rumit.
Meski terlihat berat, tugas ini mampu dijalankannya dengan sangat baik. Dalam hal komposisi pemain, Tabarez mampu memadukan nama-nama berpengalaman seperti Diego Forlan dan Diego Lugano dengan nama-nama muda seperti Diego Godin, Fernando Muslera, Edinson Cavani, dan Luis Suarez.
Perpaduan ini juga dilengkapi dengan filosofi "Processo" (proses) yang mengedepankan kesederhanaan. Secara personal, Tabarez sendiri sangat disegani para pemainnya, karena mampu menjadi figur "ayah" dan "guru" dalam tim.
Hasilnya, La Celeste bertransformasi menjadi satu tim tangguh, karena mampu memadukan kekompakan tim, kecerdasan taktikal, dan talenta pemain dengan baik.
Ketangguhan ini menjadi kunci kebangkitan Uruguay, yang secara berturut-turut menembus semifinal Piala Dunia 2010 dan Piala Konfederasi 2013, plus juara Copa America 2011.
Bukan hanya istimewa secara tim, pada periode ini muncul juga individu yang bersinar. Ada Diego Forlan, yang sukses meraih Bola Emas Piala Dunia 2010, dan Luis Suarez, yang menjadi pemain terbaik Copa America 2011.
Ketangguhan tim dan kecerdasan taktikal Tabarez, mampu membuat Uruguay kembali disegani. Mereka selalu jadi lawan yang sulit dihadapi, dan mampu mengekspos kelemahan lawan.
Tak heran, pengakuan datang dari berbagai pihak, salah satunya dari Marcel Desailly. Legenda Timnas Prancis ini secara sederhana mendeskripsikan taktik ala Tabarez seperti bunglon, karena adaptif terhadap karakteristik tim lawan.
Untuk kemampuan mengekspos kelemahan lawan, penampilan Timnas Uruguay saat menghajar Timnas Indonesia 7-1 di Jakarta, adalah satu contoh sederhana.
Meski tertinggal lebih dulu lewat gol cepat Boaz Solossa, Uruguay mampu mengekspos kelemahan Timnas Indonesia dalam hal bertahan dan bola-bola atas. Kemampuan ini membuat Diego Lugano dkk leluasa merajalela di Senayan.
Hasilnya Luis Suarez dan Edinson Cavani sukses mencatat hattrick di Gelora Bung Karno, yang ditambah gol dari Sebastian Eguren. Andai Diego Forlan (yang sedang dalam masa puncak performa) ikut bermain, skor akhirnya mungkin bisa lebih besar, karena dialah motor serangan tim saat itu.
Hanya saja, keampuhan taktik pelatih yang juga berprofesi sebagai guru ini mulai pudar sejak Piala Dunia 2014. Kehebatan Forlan yang sudah "habis" karena makin menua, memang bisa digantikan oleh Suarez, yang muncul sebagai inspirator tim.
Masalahnya, ketergantungan besar pada El Pistolero jadi bumerang, setelah penyerang bengal ini diskors akibat ketahuan menggigit Giorgio Chiellini, bek Timnas Italia. Tanpa Luisito, Uruguay takluk 0-2 atas Kolombia di babak perdelapan final.
Setelahnya, eks pelatih Cagliari ini lalu membangun poros serangan Suarez-Cavani, yang dipadu dengan masuknya pemain-pemain muda macam Maxi Gomez, Federico Valverde, Jose Maria Gimenez, dan Lucas Torreira.
Strategi ini memang berhasil membawa Uruguay melaju ke perempatfinal Piala Dunia 2018. Di turnamen ini juga, totalitas Tabarez sebagai pelatih banyak dipuji, karena ia selalu mendampingi tim di pinggir lapangan, meski harus ditopang dengan tongkat, akibat penyakit yang dideritanya.
Tapi, ketergantungan sangat besar pada poros Suarez-Cavani terbukti menjadi kelemahan saat salah satunya absen, atau keduanya mati kutu.
Untuk kasus pertama, masalah ini terlihat di perempat final Piala Dunia 2018. Tanpa Cavani yang cedera otot, daya dobrak Uruguay terlihat tumpul dan mudah diredam Prancis, tim yang di akhir turnamen menjadi juara.
Untuk kasus kedua, masalah ini terlihat sangat jelas, di empat laga kualifikasi Piala Dunia zona CONMEBOL, yakni saat menghadapi Brasil (kalah 1-4), Argentina (kalah 0-3 dan 0-1) dan Bolivia (kalah 0-3). Sebelumnya, Diego Godin dkk bermain imbang tanpa gol melawan Kolombia.
Meski Argentina dan Brasil memang sedang bagus-bagusnya, dan Bolivia memang dikenal jago kandang, karena ketinggian kota La Paz yang mencapai 3.600 mdpl, rentetan kekalahan ini jelas bukan alamat baik.
Selain mengancam peluang Uruguay lolos ke Qatar, rentetan hasil buruk ini menunjukkan, taktik Tabarez sudah terlihat usang, dan poros serangan Suarez-Cavani sudah habis.
Lima pertandingan tanpa kemenangan, hanya mencetak satu gol, dan mengutip 1 poin, tapi kebobolan 11 gol. Jelas, ada yang salah, perlu ada pembaruan.
Makanya, ketika AUF (PSSI-nya Uruguay) memutuskan untuk berpisah dengan Tabarez, Jumat (19/11), keputusan ini sebenarnya logis, meski terlihat panik, karena sebenarnya masih ada empat laga tersisa.
Tapi, sepanjang dan sebagus apapun sebuah era, ia akan selalu punya titik awal dan akhir, sekalipun caranya kadang kurang mengenakkan.
Kini, tak ada lagi sosok "guru" yang selama ini setia membimbing Luis Suarez dkk, meski dalam kondisi fisik tak ideal sekalipun.
Mungkin, inilah awal dari akhir cerita generasi Luis Suarez, sekaligus awal munculnya generasi baru di Timnas Uruguay, yang masih belum jelas bagaimana wujudnya.
Meski akhirnya kurang mengenakkan, kiprah Oscar Tabarez layak diapresiasi, karena ia sudah menampilkan sebuah proses membangun tim kuat, dengan totalitas dan hasil yang baik.
Gracias, El Maestro.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H