Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Saat "K-Rewards" Serasa "K-Drama"

3 November 2021   10:20 Diperbarui: 3 November 2021   11:14 482
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
K-Rewards (Kompasiana.com)

Sebagai seorang Kompasianer, ada beberapa bagian menarik dari Kompasiana, yang sekaligus menjadi "nilai tambah". Ada komunitas, event, sampai program rutin.

Semuanya mampu membuat suasana lebih "hidup", sehingga interaksi antarpengguna platform biru ini bisa terus terjalin, termasuk di media sosial atau saat bertemu langsung di event offline.

Jadi, ketika ada kehebohan soal "ketimpangan" angka perolehan K-Rewards, rasanya seperti menonton K-Drama alias drakor. Saya sebut demikian, karena ada bauran konflik, komedi, sampai plot twist yang tak terduga.

Memang, sudah ada beberapa Kompasianer, yang ikut memberikan analisis teknis soal ini, sesuai dengan pengalaman mereka di dunia tulis-menulis. Ada juga yang sampai mengontak tim Kompasiana di pusat.

Tapi, jujur saja, sejak K-Rewards hadir tiga tahun silam, baru sekarang ada kegaduhan, sampai ada pengetatan seperti ini. Padahal, sebelumnya tak ada masalah, bahkan ada Kompasianer yang sampai rutin mendonasikan K-Rewards nya, dan itu difasilitasi oleh pengelola Kompasiana.

Semua tampak baik-baik saja, dan mereka yang berada di posisi papan atas perolehan "K-Rewards" memang sudah punya nama dan kualitas tulisan yang oke, lengkap dengan jam terbang di dunia tulis-menulis. Tak ada kesan jumawa, karena memang tak ada yang perlu disombongkan.

K-Rewards sendiri menjadi pelecut, yang pada prosesnya membuat banyak Kompasianer makin semangat menulis. Sistem yang ada pun disesuaikan seperlunya, dan tidak benar-benar ketat, karena pihak pengelola Kompasiana (seperti halnya mayoritas Kompasianers) jelas berasumsi positif.

Dalam arti, kegiatan tulis-menulis di sini sudah berjalan cukup lama, dalam suasana yang cukup positif. Masa sih, ada yang sampai hati bermain curang dengan menggelembungkan angka "viewer"?

Saya tidak bermaksud menjilat atau melebih-lebihkan. Nyatanya, sebelum ada kegaduhan dan penertiban kebijakan seperti baru-baru ini, tak pernah ada masalah, apalagi saling hujat.

Hubungan personal yang terjalin antar-Kompasianer pun cukup baik, bahkan mereka tak sungkan membantu, sekalipun baru bertemu langsung untuk pertama kali.

Foto hasil jepretan Kompasianer Tamita Wibisono di bawah ini, menjadi satu buktinya. Saat itu, saya digendong oleh Kompasianer Andri Mastiyanto.

Dok. Kompasianer Tamita Wibisono
Dok. Kompasianer Tamita Wibisono
Dalam momen syukuran ulang tahun Kompasiana ke 11, pada akhir Oktober tahun 2019 silam di Museum Bank Indonesia, Jakarta, saya memang ikut tur jalan kaki keliling museum bersama sejumlah Kompasianers lainnya.

Meski waktu itu baru pertama kali bertemu langsung dengan sebagian besar dari mereka, tanpa ragu-ragu, mereka membantu menuntun saya, termasuk saat naik-turun tangga, dan menemani sampai saya mendapat kendaraan, di tengah padatnya lalu lintas Kota Tua pada akhir pekan.

Saat memori itu dihadirkan lagi di media sosial baru-baru ini, saya sedikit merasa "surprise", karena momen ini ternyata diabadikan di media sosial, dan tidak hanya diingat oleh saya sendiri. Banyak yang mengingatnya dengan kesan positif.

Sebuah memori indah di masa perantauan, yang kadang membuat saya "kangen" dengan Jakarta. Semoga, suatu saat nanti bisa ke sana lagi.

Di sini, saya justru angkat topi, karena mereka mampu mengangkat sisi positif dari sebuah kekurangan, dan justru menjadikan momen itu sebagai satu "reminder" saat ada "K-Drama" gara-gara "K-Rewards".

Mungkin, contoh ini kelihatan sepele, tapi hal-hal seperti inilah yang jadi satu nilai spesial di Kompasiana. Itu baru satu momen, belum yang lain. Berapa harganya? Kalau kata iklan kartu kredit, It's Priceless. Tidak bisa diukur dengan "K-Rewards".

Saya sendiri kadang absen mendapat "K-Rewards", termasuk di bulan September lalu. Apakah saya akan ngambek? Awalnya memang sedikit kecewa, karena itu seperti mendapat pesan "Anda belum beruntung, silakan coba lagi".

Tapi, saya tetap terus saja menulis, karena sebelum ada "K-Rewards" pun sudah demikian. Apalagi, menulis itu kadang seperti berolahraga, menyenangkan dan menyehatkan mental, meski butuh energi ekstra.

Saya menyebut menulis "menyehatkan mental", karena berdasarkan saran psikolog klinis yang pernah saya temui, menulis adalah satu terapi psikologi yang direkomendasikan untuk dilakukan secara rutin.

Jadi, keterlaluan kalau ada yang sampai tega bermain "curang" seperti itu. Kalaupun bisa mendapatkan banyak, uang itu sifatnya "easy come easy go", seperti kata Freddie Mercury di lagu "Bohemian Rhapsody". Kalau kata orang Jawa, "duit setan dicuri tuyul".

Penyebabnya, uang itu didapat dengan cara tidak benar. Bukan kejutan juga kalau pada akhirnya akan ada banyak "pengeluaran tak terduga" yang justru membuat "nilai sesungguhnya" dari."hasil kerja" itu tampak, sekalipun tingkat pelanggarannya kecil.

Mengingat sifat dan prosesnya, kehilangan uang seperti itu adalah sesuatu yang wajar. Tidak merelakannya hanya akan menambah masalah.

Sebaliknya, kalau caranya benar, sekalipun jumlahnya kecil dan cepat habis, dampak positif yang dihadirkannya lebih kuat dan terasa.

Di platform blog untuk umum seperti Kompasiana, sebuah tulisan dengan jumlah klik banyak akan sangat terlihat, tapi masih dalam batas wajar. Tidak ada yang benar-benar dominan, karena pergerakannya dinamis, sesuai dengan perkembangan terkini.

Kalaupun ada yang mendapat sampai puluhan ribu klik secara organik, berarti tulisan itu benar-benar viral, mendapat banyak "nilai" atau komentar di postingan, atau dibagikan berkali-kali di media sosial, termasuk fanpage komunitas yang punya jutaan like.

Jadi, kalau ada tulisan yang jumlah kliknya puluhan ribu, dominan, tapi responnya di berbagai aspek tetap "santuy", maka mudah untuk mencurigai tulisan itu "digelembungkan" jumlah kliknya.

Sederhana saja, tulisan yang jumlah kliknya puluhan ribu kok nggak viral, kok nggak banyak like, comment atau share? Jelas ada yang salah.

Di platform "news aggregator", trik "penggelembungan" seperti ini memang bisa menambah jumlah klik, tapi tak otomatis menambah nilai monetisasi, malah bisa mengurangi.

Membagikan berkali-kali di media sosial pun, efektivitasnya belum tentu bagus, karena ada banyak informasi berseliweran di sana.
 
Kebetulan, waktu masih aktif menulis di sebuah news aggregator yang sudah almarhum, saya pernah melakukan eksperimen sederhana, dengan me-refresh halaman artikel berkali-kali, untuk menambah jumlah klik.

Jumlah kliknya memang lebih banyak dibanding postingan sebelumnya, komentar yang masuk pun cukup banyak, tapi nilai monetisasinya malah tidak setinggi postingan sebelumnya yang tidak saya otak-atik.

Masalah inilah, yang mungkin membuat pengumuman K-Rewards bulan September lalu "ngaret" dari biasanya. Ada banyak temuan dan hal-hal lain yang harus dikoreksi secara menyeluruh, sebelum akhirnya ditertibkan. Semoga, penertiban ini akan ikut menghasilkan perbaikan positif.

Ini jelas butuh waktu, karena ada puluhan ribu Kompasianer yang datanya perlu dikroscek, apakah dia main curang atau tidak. Tentunya dengan perhitungan dan koreksi terukur, berdasarkan data yang ada.

Bagi yang masih "lempeng", selamat, masalah yang selama ini menghasilkan drama sudah mulai tertangani.

Bagi yang ternyata "main curang", terima kasih jika Anda mau mengakui semua dengan sejujurnya, tapi jangan pernah memposisikan diri sebagai "korban", karena ada begitu banyak orang yang sudah kena imbas dari kecurangan Anda.

Satu lagi, kesadaran positif untuk "tidak main curang" soal jumlah klik, yang selama ini sudah ada, jadi rusak dan harus diperbaiki, karena ada yang berbuat curang.

Jika Anda merasa dirugikan karena "ketahuan", maka terimalah itu sebagai sebuah pelajaran yang tidak untuk diulang di manapun. Membela diri, apalagi memposisikan diri sebagai korban, hanya akan membuat semuanya lebih buruk.

Anda bisa saja membuat blog sendiri atau pindah ke tempat lain, tapi jika cara curangnya masih digunakan, sekecil apapun itu, masalahnya akan sama saja.

Momen "K-Rewards serasa K-Drama" ini sekali lagi menjadi contoh seberapa berbahayanya jika uang jadi titik fokus tunggal, karena ia menghasilkan ego yang tidak "memanusiakan manusia".

Di sisi lain, uang juga bisa menjadi satu tolok ukur yang bagus. Ia mewakili cerminan sifat asli manusia, yang berhadapan dengannya.

Makanya, orang mengatakan, "kalau kita ingin mengetahui sifat asli seseorang, beri dia uang."

Ternyata, itu benar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun