Dalam beberapa pekan terakhir, kisruh Warkop DKI dan Warkopi masih saja bergulir, lengkap dengan pro-kontra di sekitarnya. Masalah ini muncul, karena adanya dugaan pelanggaran Hak dan Kekayaan Intelektual (HAKI) atas merek Warkop DKI.
Seperti diketahui, merek Warkop DKI sudah terdaftar di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) sejak 2004. Sesuai ketentuan perundangan yang berlaku, setiap pihak yang ingin menggunakan merek ini harus meminta izin kepada DKI dan Lembaga Warkop DKI.
Jika tidak, sanksi pidana maksimal 4 tahun, atau denda maksimal Rp. 2 miliar siap menjerat pelanggar. Ketentuan ini diatur dalam UU No. 20 Tahun 2016 Pasal 100 ayat 2.
Jika melihat akar masalahnya, seharusnya kegaduhan yang ada saat ini tak perlu ada, karena akar masalahnya sudah jelas.
Di sisi lain, saya melihat masalah ini sebagai sebuah krisis lainnya di dunia komedi kita. Setelah muncul tren komedi "tanpa isi" (yang beberapa kali menuai masalah) kini hadir versi "parodi" yang ternyata melanggar hukum.
Warkopi dan orang-orang di baliknya seperti tak punya ide lain, untuk menghadirkan sesuatu yang baru dan berbeda. Mereka malah terkesan pragmatis, dengan menggunakan materi komedi lawas yang memang sudah familiar di masyarakat.
Masalahnya, materi komedi yang dibawakan kurang relevan dengan kondisi saat ini. Komedi Warkop DKI yang dihadirkan oleh trio Dono Kasino Indro umumnya berlatar waktu di era Orde Baru, masa dimana internet belum merakyat, ponsel belum pintar, tapi represi sangat kuat.
Media sosial di internet? Mungkin masih berupa ide abstrak.
Soal gaya bahasa, gaya bahasa di masa jaya Warkop DKI jelas sangat berbeda dengan saat ini. Jika diterapkan mentah-mentah, mungkin akan sedikit membingungkan, terutama buat generasi muda, dan terdengar aneh di telinga.
Jika tujuannya hanya untuk bernostalgia, Warkopi sebenarnya tak perlu repot-repot. Sudah ada film Warkop DKI yang biasa hadir di televisi maupun diakses via platform streaming.
Mereka yang kangen tinggal membuka, kapanpun dan di manapun. Sederhana sekali.
Memang, ada versi "Reborn" yang muncul, dan sukses di pasaran. Tapi, versi ini lebih tepat disebut sebagai sebuah penyegaran.
Dalam arti, nama besar Warkop DKI kembali dihadirkan ke layar lebar, tapi dengan setting dan sudut pandang yang relevan dengan kondisi terkini. Jadi, unsur nostalgia yang coba ditampilkan ikut dilengkapi dengan komedi segar.
Satu lagi, versi "Reborn" ini hadir dengan mengikuti etika dan aturan legal yang berlaku. Jadi, tak ada ribut-ribut seperti pada kasus Warkopi.
Dari kacamata bisnis, kehadiran Warkopi menunjukkan seberapa cerdas pencetusnya. Mereka jeli menangkap peluang, tapi sayang sangat ceroboh, karena mengabaikan etika dan aturan legal yang berlaku.
Tapi, dari kacamata komedi, yang notabene merupakan sebuah seni, ini adalah sebuah kemunduran. Seni sejatinya bersifat dinamis, karena ia bergerak mengikuti zaman, sebagai potret suatu masa.
Tanpa sifat dinamis itu, komedi memang masih bisa hadir sebagai "versi tiruan" yang menjual unsur nostalgia. Tapi, masa edarnya takkan awet. Justru versi aslinya yang "everlasting", karena menghadirkan komedi berkualitas dengan suatu kebaruan.
Kebaruan inilah, yang (seharusnya) menginspirasi generasi selanjutnya, untuk mampu menghadirkan komedi berkualitas, yang relevan dengan situasi dan kondisi pada masanya.
Pada akhirnya, ini akan jadi "tongkat estafet" warisan sekaligus teladan berharga, dari generasi ke generasi. Semakin berkualitas sebuah komedi, semakin besar manfaatnya bagi masyarakat, karena komedi adalah satu sarana hiburan yang (seharusnya) mencerdaskan, bukan sebaliknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H