Mereka yang kangen tinggal membuka, kapanpun dan di manapun. Sederhana sekali.
Memang, ada versi "Reborn" yang muncul, dan sukses di pasaran. Tapi, versi ini lebih tepat disebut sebagai sebuah penyegaran.
Dalam arti, nama besar Warkop DKI kembali dihadirkan ke layar lebar, tapi dengan setting dan sudut pandang yang relevan dengan kondisi terkini. Jadi, unsur nostalgia yang coba ditampilkan ikut dilengkapi dengan komedi segar.
Satu lagi, versi "Reborn" ini hadir dengan mengikuti etika dan aturan legal yang berlaku. Jadi, tak ada ribut-ribut seperti pada kasus Warkopi.
Dari kacamata bisnis, kehadiran Warkopi menunjukkan seberapa cerdas pencetusnya. Mereka jeli menangkap peluang, tapi sayang sangat ceroboh, karena mengabaikan etika dan aturan legal yang berlaku.
Tapi, dari kacamata komedi, yang notabene merupakan sebuah seni, ini adalah sebuah kemunduran. Seni sejatinya bersifat dinamis, karena ia bergerak mengikuti zaman, sebagai potret suatu masa.
Tanpa sifat dinamis itu, komedi memang masih bisa hadir sebagai "versi tiruan" yang menjual unsur nostalgia. Tapi, masa edarnya takkan awet. Justru versi aslinya yang "everlasting", karena menghadirkan komedi berkualitas dengan suatu kebaruan.
Kebaruan inilah, yang (seharusnya) menginspirasi generasi selanjutnya, untuk mampu menghadirkan komedi berkualitas, yang relevan dengan situasi dan kondisi pada masanya.
Pada akhirnya, ini akan jadi "tongkat estafet" warisan sekaligus teladan berharga, dari generasi ke generasi. Semakin berkualitas sebuah komedi, semakin besar manfaatnya bagi masyarakat, karena komedi adalah satu sarana hiburan yang (seharusnya) mencerdaskan, bukan sebaliknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H