Di saat bersamaan, Evan Dimas dan Timnas Indonesia mentok di babak perdelapan final. Dari sini, perbedaan itu sudah sangat terlihat.
bola nasional mungkin masih akan beralibi, Timnas Korea Selatan adalah salah satu raksasa Asia, tak bisa dibandingkan langsung dengan Timnas Indonesia. Tapi, justru karena itulah ketimpangan level kualitas aktual Evan Dimas dan Hwang Hee-chan makin terlihat.
Sebagian dari publik sepakDi tim sekelas Korea Selatan, persaingan memperebutkan posisi inti cukup ketat, karena banyak pemain bagus dari sistem pembinaan usia muda yang oke. Hanya yang benar-benar berkualitas saja yang akan dipilih.
Sejak era Cha Bum Kun di era 1980-an, mereka selalu punya pemain yang bermain di liga top Eropa. Mereka bahkan punya seorang Park Ji-Sung, yang sudah meraih trofi Liga Inggris dan Liga Champions di Manchester United plus Eredivisie Belanda bersama PSV Eindhoven.
Jadi, membahas Hwang Hee-chan dan Evan Dimas dalam satu paket jelas tidak relevan. Beda level, beda mentalitas.
Kebiasaan seperti pada kasus Evan Dimas dan Hwang Hee-chan ini memang merupakan satu kebiasaan lama di media kita. Entah sejak kapan.
Di satu sisi, ini terlihat norak, karena di saat persepakbolaan nasional masih betah jalan di tempat, sikap overproud seperti ini masih saja dikedepankan.
Padahal, ini adalah satu kebiasaan toxic.
Satu-satunya alasan yang bisa dimengerti hanyalah, sepak bola nasional tak punya cukup banyak hal yang benar-benar layak dibanggakan.
Inilah yang membuat jenis informasi seperti ini terlalu sering digaungkan. Saking seringnya, orang bosan mendengarnya.
Meski bisa dijadikan alat kritik kepada PSSI dan pihak terkait, selama kebobrokan yang ada masih lestari, bahkan makin parah, percuma saja.
Menceritakan kisah masa lalu yang bagus memang menyenangkan, tapi itu tidak akan mengubah keadaan buruk di masa depan. Malah, nostalgia ini bisa menjadi satu racun, yang membuat keadaan menjadi buruk di masa depan.