Aku sendiri lalu memilih pergi, supaya mereka bisa berhemat, seperti apa yang sudah kudengar. Semua sudah diserahkan sebelum aku pergi, jadi seharusnya aku bisa pergi dengan tenang.
Tapi, apa yang terjadi?
Semua yang sudah kukerjakan lenyap, dan ada yang terbengkalai. Tim ahli itu terlihat seperti amatir, karena mereka hanya dibekali dua kata; bagus dan elegan. Selebihnya, tidak ada.
Aku tak kaget. Memang inilah cara dan gaya mereka. Mau untung besar, tapi kurang siap di sana-sini. Ternyata benar, punya tim ahli pun bisa jadi percuma, karena mereka tak memahami apa yang dimiliki.
Seperti yang kualami dulu, ada sabotase di sana. Kini, itu terjadi lagi, dan aku hanya bisa sedikit membantu dengan bahan yang masih kupunya. Selebihnya terserah.
Ceritaku di sana sebenarnya sudah lama selesai. Tapi, apa yang barusan kudengar semakin membuatku yakin, kekacauan seperti ini adalah sesuatu yang berulang di sana.Â
Entah amatir atau ahli sekalipun dijamin akan bernasib sama di sana. Mereka sudah terbiasa begitu, dan akan terus begitu, entah sampai kapan. Mungkin, mereka takut terlihat lebih bodoh, dan kehilangan pijakan untuk menginjak.
Aku bersyukur, karena sudah pergi dari sana. Meski membawa pulang kelelahan mental yang brutal, semua memori di sana sudah kutinggalkan di sana. Hubungan baik yang ada juga tetap terjaga, meski tak pernah lagi berjumpa.
Tak ada kenangan yang harus dirindukan, dan tak ada pula penyesalan yang terbawa. Jika nanti berjumpa lagi, kita hanya berjumpa sebagai teman. Tak lebih tak kurang.
Kenangan kadang membuat rindu, jika layak diingat, tapi ia layak dihapus atau dibuang, jika hanya menjadi racun, karena manusia bukan ular sendok, si pengumpul racun nan handal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H