Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Antara KPI, Sensor, dan Kasus Bullying

4 September 2021   02:50 Diperbarui: 4 September 2021   02:58 849
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Republika.co.id)

Bicara soal Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), saya kadang merasa, lembaga ini punya peredam telinga yang sangat ampuh. Mereka bisa tetap tak bergeming, meski ada kritik dalam berbagai bentuk dari masyarakat, soal kinerja mereka.

Tapi, belakangan sikap itu mendadak berubah, seiring viralnya kasus perbuatan "bullying" yang tak senonoh, yang dilakukan oknum pegawai KPI terhadap salah seorang koleganya.

Jujur, seiring makin merakyatnya platform streaming, televisi sudah jarang sekali saya tonton. Kecuali jika ada siaran langsung bulutangkis, MotoGP atau sepak bola.

Alasannya sederhana, dari sekian banyak tayangan televisi yang ada, hanya tayangan siaran langsung seperti inilah yang bebas dari sensor. Oke, kartun atau film yang bagus memang masih ada, tapi sensornya sudah semakin keterlaluan.

Bagaimana tidak, mulai dari kata-kata sampai baju yang dikenakan saja, ada banyak yang kena sensor. Selain adegan Sandy Si Tupai yang kena blur saat memakai bikini, adegan Spongebob Squarepants saat hanya memakai celana dalam pun ikut kena sensor dengan di-zoom.

Contoh lainnya, adegan di kartun Doraemon saat Giant memakai pakaian sumo di pertandingan sumo, atau saat Shizuka memakai baju renang di pantai juga disensor. Ajaib sekali.

Itu masih belum termasuk adegan tinju di film bertema olahraga tinju yang kena sensor. Kalau adegan tinju yang jadi inti filmnya disensor, itu jelas membingungkan.

Yang paling gawat, sensor berlebihan ini juga membuat acara kontes kecantikan jadi sebuah lelucon. Karena, sensor berlebihan justru membuat estetika acara ini jadi rusak.

Kita juga menemukan banyak adegan film yang dinilai "seksi" diblur atau dipotong. Padahal, dalam posisi film sebagai sebuah karya seni, tak ada yang salah dengan itu. Kecuali jika pikiran si penonton terlanjur piknik kemana-mana.

Di sini, jelas bukan film atau kartun yang salah, tapi pikiran orangnya. Ironisnya, adegan atau plot cerita tak pantas di sinetron justru melenggang bebas, bersama tayangan-tayangan berkualitas rendah.

Sumber Gambar: 1CAK.com
Sumber Gambar: 1CAK.com
Celakanya, sensor berlebihan ini mulai menjadi racun yang membuat sebagian orang berpikiran aneh-aneh. Kita tentu masih ingat, saat ada permintaan dari seorang warganet kepada KPI saat Olimpiade Tokyo lalu, supaya tayangan siaran langsung pertandingan voli pantai  disensor saja, karena dinilai tak senonoh.

Padahal, sebelumnya tak ada masalah di sini selama bertahun-tahun. Banyak generasi yang nyatanya baik-baik saja tanpa sensor berlebihan.

Saya sendiri masih saja tertawa saat menikmati aksi baku hantam dan kekonyolan khas kartun Tom and Jerry, karena memang itu murni komedi dan berkualitas. Kalau tidak berkualitas, kartun ini tak akan memenangkan penghargaan Academy Awards, untuk kategori Film Animasi Terbaik sampai tujuh kali, antara tahun 1943-1952.

Ironisnya, sensor berlebihan justru membuat sebagian orang mulai berpandangan ekstrem, tanpa punya kesadaran dan keterbukaan pola pikir yang baik. Sebuah kemunduran yang menyeramkan.

Kasus pada tayangan Olimpiade di atas jadi contoh kemunduran yang paling kelihatan, seperti sebuah fenomena gunung es. Saya sebut demikian, karena ternyata di tubuh KPI sendiri terjadi kasus perbuatan tak senonoh yang cukup mengerikan.

Pelakunya memang oknum, tapi karena kejadiannya sudah berlangsung selama beberapa tahun, tindakan "bullying" ini sudah keterlaluan. Ada pembiaran hanya karena itu tak separah kelihatannya, sebelum kejadian fatal terjadi: viral di media sosial, dan menggerakkan "the power of netizen".

Padahal, kerusakan mental dan trauma yang dialami korban jelas butuh waktu lama untuk diobati. Memaafkan sebenarnya bukan perkara sulit, karena bisa diucapkan.

Masalah terbesarnya adalah saat harus melupakan atau minimal merelakan, dengan trauma yang mungkin masih tersisa. Jika itu sangat menyakitkan dan melukai, bayangannya bisa ada sampai seumur hidup.

Apalagi, jika pelakunya tak menganggap itu sebagai sebuah kesalahan, bahkan menyerang balik korban, atau menganggap ini sebagai urusan menang atau kalah. Padahal, ini sama sekali bukan soal menang atau kalah. Tak ada yang menang di sini, kalau kata pepatah, "kalah jadi abu, menang jadi arang".

Sebagai seorang penyintas korban "bullying", pengalaman saya ter-bully karena kekurangan fisik saya, terutama di masa remaja, mungkin tak sebanding dengan korban di KPI ini. Tapi, apapun bentuknya, "bullying" yang terjadi menahun selalu meninggalkan rasa sakit.

Akibat ulah segelintir oknum nakal, ada sedikit rasa getir di tengah banyak momen berkesan, kesan positif, dan hubungan baik yang sudah ada di saat bersamaan. Karena nila setitik, rusak susu sebelangga.

Inilah satu alasan, yang membuat saya tak pernah mau mampir lagi ke dalam gedung sekolah saya dahulu, disamping faktor kesibukan dan lain-lain. Ironisnya, pengalaman pahit inilah yang membuat saya tak pernah ragu, saat kesempatan untuk merantau datang. Tak ada ikatan atau rindu berlebihan, pada kota tempat saya tinggal sekarang.

Pada prosesnya, saya butuh waktu tak sebentar untuk merelakan, meski sangat sulit untuk dilupakan. Jelas, tak ada orang yang mau jadi pesakitan, atas tindakan salah yang dilakukan orang lain.

Bagian paling menyakitkannya adalah, jika mereka yang sebenarnya bersalah justru bisa hidup seperti tak terjadi apa-apa. Rasanya sangat tak adil, tapi begitulah realitanya.

Jadi, wajar jika si korban nanti ingin mencari kesempatan di tempat lain, dan tak ingin lagi mampir ke kantor lamanya. Ada luka dan rasa sakit yang harus diobati, meski sebenarnya pasti ada (minimal sedikit) memori manis di sana.

Berangkat dari mencuatnya kasus ini dan dampak yang muncul, KPI seharusnya mulai serius berbenah. Tak perlu sibuk mengurus sensor di seberang lautan, selama perbuatan tak lulus sensor di pelupuk mata masih saja merajalela.

Di sini, pemerintah dan pihak terkait perlu mengevaluasi juga. Jika KPI masih saja bermasalah, mungkin sudah saatnya mereka diganti, karena sudah terlanjur bobrok.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun