Inilah satu alasan, yang membuat saya tak pernah mau mampir lagi ke dalam gedung sekolah saya dahulu, disamping faktor kesibukan dan lain-lain. Ironisnya, pengalaman pahit inilah yang membuat saya tak pernah ragu, saat kesempatan untuk merantau datang. Tak ada ikatan atau rindu berlebihan, pada kota tempat saya tinggal sekarang.
Pada prosesnya, saya butuh waktu tak sebentar untuk merelakan, meski sangat sulit untuk dilupakan. Jelas, tak ada orang yang mau jadi pesakitan, atas tindakan salah yang dilakukan orang lain.
Bagian paling menyakitkannya adalah, jika mereka yang sebenarnya bersalah justru bisa hidup seperti tak terjadi apa-apa. Rasanya sangat tak adil, tapi begitulah realitanya.
Jadi, wajar jika si korban nanti ingin mencari kesempatan di tempat lain, dan tak ingin lagi mampir ke kantor lamanya. Ada luka dan rasa sakit yang harus diobati, meski sebenarnya pasti ada (minimal sedikit) memori manis di sana.
Berangkat dari mencuatnya kasus ini dan dampak yang muncul, KPI seharusnya mulai serius berbenah. Tak perlu sibuk mengurus sensor di seberang lautan, selama perbuatan tak lulus sensor di pelupuk mata masih saja merajalela.
Di sini, pemerintah dan pihak terkait perlu mengevaluasi juga. Jika KPI masih saja bermasalah, mungkin sudah saatnya mereka diganti, karena sudah terlanjur bobrok.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H