Olimpiade Tokyo lalu, supaya tayangan siaran langsung pertandingan voli pantai disensor saja, karena dinilai tak senonoh.
Celakanya, sensor berlebihan ini mulai menjadi racun yang membuat sebagian orang berpikiran aneh-aneh. Kita tentu masih ingat, saat ada permintaan dari seorang warganet kepada KPI saatPadahal, sebelumnya tak ada masalah di sini selama bertahun-tahun. Banyak generasi yang nyatanya baik-baik saja tanpa sensor berlebihan.
Saya sendiri masih saja tertawa saat menikmati aksi baku hantam dan kekonyolan khas kartun Tom and Jerry, karena memang itu murni komedi dan berkualitas. Kalau tidak berkualitas, kartun ini tak akan memenangkan penghargaan Academy Awards, untuk kategori Film Animasi Terbaik sampai tujuh kali, antara tahun 1943-1952.
Ironisnya, sensor berlebihan justru membuat sebagian orang mulai berpandangan ekstrem, tanpa punya kesadaran dan keterbukaan pola pikir yang baik. Sebuah kemunduran yang menyeramkan.
Kasus pada tayangan Olimpiade di atas jadi contoh kemunduran yang paling kelihatan, seperti sebuah fenomena gunung es. Saya sebut demikian, karena ternyata di tubuh KPI sendiri terjadi kasus perbuatan tak senonoh yang cukup mengerikan.
Pelakunya memang oknum, tapi karena kejadiannya sudah berlangsung selama beberapa tahun, tindakan "bullying" ini sudah keterlaluan. Ada pembiaran hanya karena itu tak separah kelihatannya, sebelum kejadian fatal terjadi: viral di media sosial, dan menggerakkan "the power of netizen".
Padahal, kerusakan mental dan trauma yang dialami korban jelas butuh waktu lama untuk diobati. Memaafkan sebenarnya bukan perkara sulit, karena bisa diucapkan.
Masalah terbesarnya adalah saat harus melupakan atau minimal merelakan, dengan trauma yang mungkin masih tersisa. Jika itu sangat menyakitkan dan melukai, bayangannya bisa ada sampai seumur hidup.
Apalagi, jika pelakunya tak menganggap itu sebagai sebuah kesalahan, bahkan menyerang balik korban, atau menganggap ini sebagai urusan menang atau kalah. Padahal, ini sama sekali bukan soal menang atau kalah. Tak ada yang menang di sini, kalau kata pepatah, "kalah jadi abu, menang jadi arang".
Sebagai seorang penyintas korban "bullying", pengalaman saya ter-bully karena kekurangan fisik saya, terutama di masa remaja, mungkin tak sebanding dengan korban di KPI ini. Tapi, apapun bentuknya, "bullying" yang terjadi menahun selalu meninggalkan rasa sakit.
Akibat ulah segelintir oknum nakal, ada sedikit rasa getir di tengah banyak momen berkesan, kesan positif, dan hubungan baik yang sudah ada di saat bersamaan. Karena nila setitik, rusak susu sebelangga.