Sebagai seorang Kompasianer, saya termasuk Kompasianer mode "terbatas". Dalam artian, saya jarang melakukan "blogwalking", karena kebiasaan membaca cepat yang biasa saya terapkan, ternyata kurang efektif di gadget.
Mata menjadi mudah lelah, karena membaca dalam paparan cahaya konstan dari gadget ternyata menguras banyak tenaga. Alhasil, saya memilih fokus menulis dan membalas komentar yang masuk.
Dengan kondisi saya yang punya kelainan syaraf motorik bawaan, saya kadang harus melakukan beberapa langkah adaptasi. Mulai dari tidur sebelum dan sesudah menulis, sampai harus bersabar saat sedang menulis.
Penyebabnya, saya hanya bisa mengetik huruf per huruf, dan itu bisa sedikit dipercepat, dengan bantuan fitur teks prediktif.
Meski begitu, ketidaksinkronan antara ketikan di tangan, dengan rangkaian kata yang sudah jadi di dalam kepala masih terjadi. Biasanya, saat tangan saya baru selesai mengetik kalimat kedua, di dalam kepala ini sudah menuntaskan satu-dua kalimat berikutnya.
Sedikit membingungkan, tapi ini sudah saya alami sejak masih sekolah. Tak ada masalah, karena ini sudah biasa.
Jadi, saya tidak terlalu memikirkan, apakah tulisan saya dapat label headline, punya banyak orang yang memberikan vote, atau masuk bagian terpopuler. Apalagi, bereaksi pada tulisan atau "drama" yang terjadi.
Sederhananya, bisa menyelesaikan satu tulisan sampai tuntas, dan menayangkannya dengan lancar sesuai aturan saja sudah melegakan. Selebihnya, terserah pembaca dan admin.
Praktis, interaksi dengan sesama Kompasianer lebih banyak saya lakukan di media sosial, event rutin komunitas, atau event Kompasiana, seperti Kompasianival, baik online atau offline.
Sekali waktu, saya juga sempat berkunjung langsung ke markas Kompasiana di bilangan Palmerah, saat masih jadi anak rantau di Jakarta. Dari situ, saya bisa bertemu langsung dengan para admin dan mengintip sekilas suasana di dapur Kompasiana.