Dalam sebuah turnamen, top skorer biasa hadir dari pemain yang mencetak gol paling banyak, di luar adu penalti. Tapi itu tidak terjadi di Euro 2020.
Bukan Cristiano Ronaldo, bukan juga Harry Kane, tapi gol bunuh diri-lah yang jadi top skorer Euro 2020, dengan torehan 11 gol. Catatan ini menjadi rekor terbanyak sepanjang sejarah turnamen.
Sejak fase grup sampai semifinal, gol bunuh diri cukup rajin mewarnai pertandingan. Selalu ada gol bunuh diri di setiap babak turnamen kali ini.
Gol pertama bahkan langsung hadir di laga pembuka, saat Merih Demiral mencetak gol bunuh diri, yang membuka keunggulan Italia. Setelahnya, momen tak biasa ini jadi terlihat biasa, saking seringnya terjadi.
Saat fase gugur memasuki babak perempatfinal dan semifinal pun, gol bunuh diri masih enggan bolos. Di perempat final, ada Dennis Zakaria (Swiss) yang melakukannya saat melawan Spanyol. Di semifinal, giliran Simon Kjaer (Denmark) yang menciptakannya saat menghadapi Inggris.
Sekilas, ini terlihat ceroboh, karena terjadi lebih sering dari biasanya. Tapi, jika yang dilihat adalah tren taktik sepak bola kekinian di Eropa, ini justru terlihat wajar.
Benar. Dalam beberapa tahun terakhir, tren taktik pressing ketat sedang hype. Sebagai contoh, ada gegenpressing ala Juergen Klopp di Liverpool, dan strategi pressing ketat ala Marcelo Bielsa di Leeds United. Ini yang cenderung agresif, belum termasuk gaya defensif Diego Simeone di Atletico Madrid.
Secara garis besar, taktik ini menghadirkan tekanan konstan di setiap sisi dan aspek permainan. Tak ada ruang cukup untuk leluasa membangun serangan dari bawah, atau mengatur nafas saat harus bertahan.
Apa boleh buat, peluang terjadinya blunder, termasuk gol bunuh diri pun meningkat, dan semakin terlihat wajar. Penyebabnya, dalam ruang gerak yang semakin sempit, perlu ada pengambilan keputusan segera, sekalipun itu berisiko tinggi menghasilkan blunder.
Di sini, tak ada ruang untuk bisa leluasa bermain santai. Lengah sedikit saja bisa kecolongan. Terlalu asyik menyerang bisa kena serangan balik, sementara jika terlalu bertahan, sekali kebobolan, semua bisa berantakan.
Jadi, alih-alih pemain bertipe nomor 10, pressing ketat justru mencuat sebagai playmaker utama. Penyebabnya sederhana, pressing adalah titik awal serangan.
Pressing ketat juga menjadi kunci transisi permainan, entah dari bertahan ke menyerang atau sebaliknya. Semakin kompak sebuah tim  semakin mulus transisinya.
Bisa dibilang, fokus sebuah tim kini bukan hanya pada mengoptimalkan kemampuan individu pemain, tapi juga memadukannya ke dalam sebuah tim, supaya bisa meraih hasil maksimal.
Melihat tren yang muncul di turnamen ini, rasanya bukan hal mengejutkan jika di final nanti akan ada gol bunuh diri yang hadir. Selebihnya, mari kita nikmati sajian penutup di Wembley.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H