Mereka seperti lupa, dengan keraguan yang mereka lempar, bersama semua label buruk yang mereka pasang.
Setelahnya, pagebluk ternyata masih mengamuk, bahkan lebih seram dari sebelumnya. Makin banyak orang yang sakit dan meninggal, seperti halnya mereka yang menganggap remeh.
Seperti sebelumnya, aku kembali berusaha hati-hati, tapi kembali diremehkan. Bukan hanya itu, aku diminta untuk berbagi, dalam versi yang diluar jangkauanku. Sebuah perintah yang sama, dengan yang kudapat saat di ibukota dulu.
Aku masih ingat, saat dulu kondisi sedang menggila, mereka yang memberiku perintah itu, tanpa melihat situasinya, dan menganggapku pelit. Menyakitkan.
Alih-alih menurut, aku malah mengembalikan perintah mereka. Sebelum pulang, aku memberikan alat pembersih debuku kepada penjaga kost. Mereka tampak senang sekali, karena sapu di sana sering hilang tanpa bekas.
Sebenarnya, bisa saja itu kubawa pulang. Aku membelinya sendiri, tapi aku memilih tidak melakukannya, karena aku sadar, inilah kesempatanku untuk memberi, walaupun seadanya.
Situasi itu kini kembali datang, saat aku masih mengobati luka akibat masa sulit itu. Jujur saja, ini membuatku marah. Dulu, aku mati-matian berhemat demi mengikuti kemauan mereka, tanpa mengorbankan kebutuhan hidup dan  menabung. Sendirian.
Saat situasi jadi sulit karena pagebluk, aku hanya dibiarkan bertarung sendirian, menghadapi bahaya sampai babak belur, dengan mereka hanya memberi solusi jalan buntu. Saat aku berusaha menjaga diri, kata-kata menyakitkan berulang kali terlontar.
Â
Tak bolehkah aku memulihkan diri?
Tak bolehkah aku menjaga diri?
Aku memang bisa bertahan dari semua keanehan ini, sampai narasi soal memberi, dengan skala yang kurang wajar. Buat apa?
Semua keanehan ini akhirnya membuatku meledak. Kubeli segelas coklat di sore hari, yang ternyata jadi obat tidur ampuh. Aku terlelap sejenak, sama seperti saat menenggak secangkir kopi hitam tanpa gula.
Saat aku bangun, semua terasa lebih ringan. Melegakan. Andai aku menambahkan rum di sana, aku pasti akan terlelap sampai pagi.