"Ternyata masih sama."
Itulah jawaban yang kukatakan, saat kudengar keluhan dari penggantiku di kantor, tempat aku magang di awal tahun.
"Mereka meminta semua dikerjakan secepatnya, dan bisa membuahkan hasil secara instan, tapi tak ada dukungan memadai.", Keluhnya.
Benar, inilah situasi yang dulu juga pernah kualami. Semua yang sudah kukerjakan dianggap sepele. Dukungan alakadarnya, koordinasi kacau, tapi ada tuntutan untuk jadi seperti Bandung Bondowoso saat membangun Candi Prambanan.
Pada akhirnya aku dipaksa mengerjakan banyak hal sekaligus sendirian. Mencari tahu sendiri, membuat sendiri, membenahi sendiri, sejauh yang kubisa.
Memang, aku sudah berusaha membuat titik minus itu kembali ke titik nol, tapi tak kusangka, selepas aku pergi, titik nol itu malah dikembalikan ke titik minus.
Apalah artinya aku yang dulu hanya seorang diri, di tengah lingkungan penuh trik silat? Ini sangat melelahkan secara mental.
Konon katanya, ibukota laksana rimba belantara, tapi aku merasakan, di tempat yang konon katanya lebih berbudaya, ternyata jauh lebih bar-bar, meski dari luar terlihat lebih halus. Persis seperti ular berbisa yang hanya perlu memagut sekali. Simpel, tanpa menggunakan banyak tenaga, tapi mematikan.
Entah berapa kali aku mendapati, apa yang sudah coba kubuat, langsung dilenyapkan, hanya karena dianggap jelek, dan entah apa lagi. Mereka menerimaku, tapi bersikap seperti itu. Sesuatu yang membuatku akhirnya memilih pergi dari sana.
Memang, aku sempat ditawari untuk lanjut, dengan upah yang lebih rendah karena imbas pagebluk. Dengan beban mental dan situasi seperti itu, aku memilih menolaknya. Kebetulan, mereka juga sedang ingin berhemat.
Berangkat dari apa yang kulihat di sana, dan apa yang sebenarnya mereka butuhkan, tepat sebelum pergi, aku memperkenalkan mitra yang memang berpengalaman di bidangnya, dan punya tim yang lengkap. Jadi, mereka bisa berhemat tapi tetap leluasa bergerak.
Aku sudah menyiapkan yang bisa kusiapkan. Jadi, saat aku pergi, penggantiku hanya tinggal melanjutkan. Sesederhana itu.
Tapi, apa yang terjadi justru sebaliknya. Semua jadi terlihat rumit, bahkan membuatku harus sedikit mengarahkan, kepada siapa penggantiku ini harus berkoordinasi. Rasanya aku seperti orang mati yang arwahnya dipanggil lagi sebentar, hanya untuk memberi wangsit.
Aku sudah menyerahkan semua yang memang milik mereka, dan mempersiapkan mitra yang bisa membantu, meski bekerja dari luar. Mereka punya pengalaman di bidangnya, dan tim yang seharusnya bisa membantu.
Tapi, setelah tiga bulan berlalu, ternyata situasi jadi kembali seperti masa sebelum aku datang.
Situasi ini sempat membuatku serasa jadi sampah. Aku mengerjakan semua yang bisa dikerjakan, tapi itu semua ternyata sia-sia. Perih.
Aku tak tahu bagaimana jalan berpikir mereka. Mewariskan tempat yang rusak berat, terbengkalai dan berantakan, untuk bisa dibangun megah dalam semalam, tapi tempat itu selalu dirusak setiap kali mulai dibangun atau dibersihkan.
Kalau begitu terus, seorang ahli dengan pengalaman seribu tahun di bidangnya sekalipun akan jadi terlihat seperti amatiran. Tidak, mungkin lebih buruk lagi.
Untuk saat ini, aku bukan siapa-siapa. Hanya perlu duduk manis melihat semuanya dari luar, dan berhak untuk tidak peduli, karena semua itu memang sudah bukan tanggung jawabku lagi.
Aku punya kehidupan dan berhak atasnya. Pagebluk memang sedang kembali menggila, tapi bukan berarti orang boleh kehilangan akal sehat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H