Setelah usang menjemput nanti
Inilah lagu "Lintasan Waktu" yang belakangan hadir menemaniku lagi, saat rasa sunyi menemani hari-hariku di rumah. Dulu, lagu ini hadir saat aku dicabik luka akibat dihambat dan dibentur masalah.
Luka itu sungguh perih, karena aku tak boleh melangkah, saat orang lain sudah melangkah sedemikian jauh. Aku masih begitu-begitu saja, sama seperti kota tempat aku tinggal.
Saat akhirnya ada kesempatan melangkah, ada pagebluk datang. Semua dihantamnya tanpa ampun sampai hancur karena kehilangan daya.
Semua yang sudah dijalani bagai lenyap tanpa bekas dihajar pagebluk. Â Pagebluk itu seolah berkata,
"Semua yang kau lakukan itu sia-sia."
Memang, keadaan ini adalah satu pukulan telak. Lebih menyakitkan lagi, ia datang setelah luka lama karena rasa perih yang dulu baru mulai bisa kulupakan. Benar, aku seperti melakukan sesuatu yang tak ada gunanya.
Bahkan, aku dipaksanya melangkah mundur, dan dibuat babak belur. Aku dibuatnya menyadari sepaket realita pahit, seperti dicekoki racikan resep jamu paling pahit.
Pertama, usiaku makin bertambah. Tak ada lagi yang benar-benar bisa menemani atau membantu dengan baik. Semua sibuk dengan urusan mereka sendiri.
Jadi, tak ada yang benar-benar bisa diharapkan dari mereka. Apalagi jika mereka sudah jadi orang penting atau beranak pinak. Siapakah aku ini, jika dibandingkan dengan itu semua?
Kedua, dengan kondisi serba kacau begini, aku butuh keajaiban untuk membalik keadaan dalam sekejap. Modernitas membuat orang di usiaku terlihat terlalu tua untuk melamar kerja.