Mungkin, keinginan untuk pergi terdengar seperti sikap pengecut, karena aku terlihat seperti sedang melarikan diri. Sebenarnya, tak seperti itu.
Aku hanya ingin pergi, dan merasakan lagi perasaan "utuh" sebagai seorang manusia. Bahagia meski lelah, merasa tenang meski berada di tengah keramaian.
Satu lagi, pergi membuatku tenang, karena bisa bebas jadi diri sendiri. Tak terbebani memori pahit sama sekali.
Memori pahit biasa menghadirkan trauma mengerikan. Tak ada yang peduli, karena itu selalu dianggap remeh. Satu-satunya yang akan datang darinya hanya penyesalan, saat semua sudah berjalan terlalu jauh dan terlambat.
Mengenaskan.
Aku masih ingin pergi, karena aku ingin menutup semua memori pahit di sini. Aku ingin melupakan, dan menganggapnya seperti tak terjadi apa-apa, sama seperti yang sudah mereka lakukan.
Kalau mereka berhak dan bisa, aku pun seharusnya demikian. Soal karma, itu urusan mereka, bukan urusanku. Rasa pahit yang datang ini memang menjengkelkan, tapi itu sudah cukup untuk menjelaskan semuanya.
Jika pergi membuatku bisa melepaskan lagi semua rasa pahit ini, aku akan melakukannya dengan senang hati. Aku berhak melupakan, karena sudah terlupakan seperti sampah.
Aku berhak membalas tanpa balas melukai mereka, supaya rantai lingkaran setan ini boleh terputus. Semua itu ingin kulakukan lagi, supaya saat semua berakhir nanti, tak ada rasa sesal yang kutinggalkan.
Kalau mereka boleh lupa, kenapa aku tidak?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H