Mimpi yang telah usai. Begitulah cerita kiprah Barcelona di pacuan juara Liga Spanyol musim ini.
Kepastian ini didapat, setelah mereka kalah 1-2 atas di kandang sendiri atas Celta Vigo, selagi pada saat bersamaan Real Madrid dan Atletico Madrid kompak meraih kemenangan. Dua tim ibukota ini menjadi penantang juara tersisa, yang akan menentukan nasib di pekan terakhir La Liga.
Praktis, tugas Blaugrana kini tinggal mengamankan posisi ketiga di partai pekan pamungkas melawan Eibar. Walau secara matematis sudah pasti lolos ke Liga Champions musim depan, mereka masih punya misi, untuk tidak mencatat finis terburuk di liga sejak musim 2002/2003, kala Luis Enrique dkk finis di posisi keenam.
Meski gagal meraih gelar juara liga, kiprah tim Catalan musim ini sebenarnya tak terlalu buruk, karena mereka sukses meraih trofi Copa Del Rey. Jadi, tak ada catatan nirgelar seperti musim lalu.
Tapi, jika melihat perjalanan tim sejak jelang bergulirnya kompetisi, prestasi ini tergolong wajar, bahkan lebih baik dari seharusnya. Mengapa?
Karena, rival bebuyutan Real Madrid  menjalani musim ini di tengah berbagai gonjang-ganjing. Mulai dari drama saga transfer Lionel Messi, pergantian presiden klub, proyek Liga Super Eropa yang belakangan kolaps, sampai ancaman kebangkrutan akibat menumpuknya hutang klub, yang dilengkapi dengan lesunya kinerja keuangan klub akibat imbas pandemi.
Dengan seabrek masalah di atas, boleh dibilang kondisi klub memang sangat morat-marit. Dampak mismanajemen, macetnya regenerasi dalam tim, dan kegagalan di musim sebelumnya, memaksa siapapun pelatih yang bertugas untuk bekerja ekstra.
Di sini, Ronald Koeman yang datang menggantikan Quique Setien, mencoba melakukan penyegaran dengan memasukkan pemain muda dari akademi, untuk dipadukan dengan pemain yang sudah ada.
Hasilnya, kita melihat pemain muda jebolan akademi, seperti Ansu Fati dan Illaix Moriba, berpadu padan dengan Lionel Messi dan pemain baru macam Pedri dan Sergino Dest. Satu kombinasi segar yang terlihat cukup menarik.
Andai Koeman tak melakukan penyegaran ini, Barca terancam mengalami penurunan tajam, karena tim yang ada saat ini memang sudah menua, dan sudah mulai menurun grafik performanya.
Meski begitu, ada sebuah blunder dari kebijakan Koeman ini. Secara ceroboh, eks pelatih Timnas Belanda melepas Luis Suarez ke Atletico Madrid, dengan harga enam juta euro.
Alasannya, El Pistolero dianggap sudah "habis" karena sempat absen lama karena cedera lutut, dan sudah mulai menua. Kebetulan, eks pemain Ajax Amsterdam juga sedang memasuki tahun terakhir kontraknya di Barcelona.
Sekilas, keputusan ini terlihat logis, meski sebenarnya ceroboh. Seperti diketahui, penyerang Timnas Uruguay itu adalah tandem sehati Lionel Messi di lini depan Barca, khususnya sejak Neymar hengkang ke PSG tahun 2017 silam.
Awalnya, Koeman membidik Memphis Depay sebagai pengganti. Apes, transfer urung terwujud karena Barca tak punya cukup dana. Gagalnya rencana ini membuat rencana taktik sang meneer jadi berantakan.
Alhasil, eks legenda Barca dipaksa mengandalkan Antoine Griezmann yang inkonsisten, dan Ousmane Dembele yang lambat panas, untuk mendukung Lionel Messi di lini depan.
Seperti biasa, Messi konsisten mencetak gol dan assist, tapi kedua pemain Timnas Prancis itu masih kesulitan untuk klop dengan sang kapten tim, seperti halnya saat Si Kutu masih berduet dengan Suarez.
Hasilnya bisa ditebak, grafik performa tim inkonsisten. Bukan hanya itu, Los Cules juga terlihat ringkih saat bertahan, karena sistem yang coba dibangun Koeman tidak berjalan sesuai rencana awal. Â Inilah kelemahan yang sukses dieksploitasi lawan.
Akibatnya, Barca sering kehilangan poin, baik saat menghadapi tim kuat macam Real Madrid dan Atletico Madrid, atau tim papan tengah seperti Granada dan Celta Vigo. Di Eropa, mereka jadi bulan-bulanan PSG yang dimotori si cepat Kylian Mbappe.
Situasi makin runyam, karena di pekan-pekan menentukan, The Catalans justru kehabisan bensin, di saat El Real dan Atleti rajin mendulang poin. Indikasi ini terlihat, di lima laga terakhir, dimana mereka hanya mampu meraih satu kemenangan, dua hasil imbang dan dua kekalahan.
Ironisnya, Luis Suarez justru mampu bersinar di Atletico Madrid, dan berpeluang meraih trofi juara liga. Andai Atleti juara, ini akan jadi de ja vu buat Barca, karena situasi serupa sempat terjadi di musim 2013/2014.
Kala itu, Barca menjual David Villa ke Atletico, untuk memberi tempat buat Neymar. Villa sendiri sebenarnya mengalami penurunan performa akibat imbas cedera parah di pertengahan musim 2011/2012, tapi justru sukses membantu Los Colchoneros meraih trofi Liga Spanyol.
Meski sukses meraih trofi Copa Del Rey dan mengamankan posisi empat besar, agaknya Barca perlu mulai bersiap untuk musim depan. Setelah menjalani satu musim penuh gejolak, mereka perlu memastikan semua aman terkendali, supaya paling tidak ada sedikit perbaikan di musim depan.
Bisa, Barca?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H