Bicara soal siaran pertandingan sepak bola, tak afdol rasanya jika tak ada sosok komentator, yang memang hadir sebagai pemandu jalannya laga. Mereka hadir mulai dari preview pralaga, sampai review pascalaga, dengan berbagai informasi yang menambah wawasan penonton.
Meski secara garis besar tugasnya sama, setiap komentator pasti punya ciri khas masing-masing. Ada yang biasa saja, ada meledak-ledak, ada yang jenaka.
Keberagaman ini berbanding lurus dengan respon penonton yang juga beragam. Ada yang menikmati, ada yang mengkritisi. Maklum, semua kembali ke selera masing-masing, yang tentu saja tidak sama persis.
Untuk hal yang disebut terakhir, kebetulan Radot Valentino "Jebret" Simanjuntak, salah satu komentator sepak bola nasional, baru saja mendapat kritik, yang belakangan viral di dunia maya.
Penyebabnya, gaya berkomentar pria yang juga seorang advokat ini dinilai berlebihan. Berawal dari cuitan di akun resmi klub Bali United, jelang menghadapi PSS Sleman di Piala Menpora, kritik itu lalu bergulir bak bola salju.
Ada yang mengatakan kata-kata kurang pantas, ada juga yang menyerukan kampanye "Gerakan Mute Massal" di media sosial. Mengingat beragamnya selera penonton, tak heran jika pro-kontra bermunculan.
Saya sendiri sebenarnya tak pernah mempersoalkan gaya berkomentar ala Bung Jebret, karena di regional lain ada juga komentator yang tak kalah heboh, bahkan lebih heboh, seperti di Timur Tengah dan Amerika Latin. Untungnya, komentator di kedua area ini berbeda bahasa, sehingga tak kena kritik warganet Indonesia.
Jadi, memang tak ada masalah, karena itu bagian dari improvisasi. Saya kadang malah berterima kasih, karena bisa bebas tertawa, saat menonton pertandingan sepak bola nasional.
Jujur saja, kadang, saya sedikit merasa jengkel saat menonton pertandingan sepak bola nasional, karena ada momen-momen dimana peluang bagus jadi percuma karena pemain terlalu egois.
Begitu juga dengan aspek taktikal. Tak banyak hal baru: umpan panjang, atau umpan lambung yang kurang akurat, minim taktik, dengan bumbu permainan keras. Belum lagi, jika masalah kompetensi wasit dan anarkisme oknum suporter masuk hitungan.
Semua terlihat stagnan sejak lama. Tak ada kemajuan berarti. Tapi karena kejenakaan komentar Bung Jebret, ada sedikit alasan untuk tertawa sekaligus terhibur olehnya.
Jadi, alih-alih menganggapnya sebagai "polusi suara" atau sejenisnya, saya justru menganggap ini sebagai satu bonus berupa sajian "stand up comedy" yang menghibur sekaligus mengkritisi secara halus permasalahan sepak bola nasional.
Benar, sepak bola nasional selama ini akrab dengan stagnasi, pemberitaan berlebihan, dan celoteh warganet. Tak ada kepedulian berarti pada masalah yang seharusnya perlu ditangani dengan serius, karena kepedulian itu sering kali sudah habis untuk hal-hal remeh.
Tapi, kritik terhadap Bung Jebret sendiri seharusnya sah-sah saja. Sepanjang itu membangun dan tak melanggar aturan yang berlaku, tentu bisa bermanfaat.
Seharusnya, warganet kita juga bisa memanfaatkan "the power of netizen" ini untuk bisa membenahi permasalahan di sepak bola nasional. Supaya, sepak bola nasional bisa punya sesuatu yang benar-benar layak dibanggakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H