Dalam sepak bola, kadang ada momen dimana sebuah tim mampu mendominasi pertandingan, dan unggul jumlah pemain, tapi kalah. Bukannya menang tapi menanggung malu.
Probabilitas kejadian ini tergolong langka, karena biasanya tim yang kalah jumlah pemain akan sangat kerepotan. Jangankan mencuri gol, bertahan saja sudah setengah mati.
Tapi, situasi inilah yang menjadi garis besar cerita dalam laga lanjutan Liga Inggris antara tuan rumah Manchester City versus Leeds United, Sabtu (10/4).
Dalam laga ini, City bermain dengan mengistirahatkan pemain kunci macam Kevin De Bruyne dan Ruben Dias. Maklum, setelah ini mereka akan melakoni pertandingan hidup mati melawan Borussia Dortmund di ajang Liga Champions.
Meski bermain tanpa kekuatan penuh, tim asuhan Pep Guardiola tetap bermain menyerang, dan berusaha mengurung lawan sejak awal laga. Secara luar biasa, The Whites hanya kebagian 29 persen penguasaan bola, dan membuat dua tembakan sepanjang pertandingan.
Dalam laga ini, City juga menerapkan kredo "pertahanan terbaik adalah menyerang lawan habis-habisan", yang dipopulerkan Rinus Michels, pencetus "Total Football" asal Belanda. Maklum, mereka mampu membuat total 29 tembakan ke gawang sepanjang laga.
Tapi, anak asuh Marcelo Bielsa tak mau kalah set. Mereka tetap berusaha bertahan dengan melakukan pressing ketat, sambil mencari celah.
Tak dinyana, celah itu terbuka lebar di penghujung babak pertama, setelah Stuart Dallas sukses menjebol gawang Ederson di menit ke 42, lewat sebuah skema serangan balik cepat.
Segera setelahnya, City sebetulnya sudah mendapat angin segar, karena Liam Cooper dikartu merah wasit pada masa injury time, akibat melanggar keras Gabriel Jesus.
Bermain dengan sepuluh orang mau tak mau membuat Leeds bermain lebih dalam, selagi gelombang serangan City makin menggila. Tsunami serangan City akhirnya berhasil, seiring kesuksesan Ferran Torres menjebol gawang Illan Meisler di menit ke 76.
Sukses menyamakan skor membuat sang pemuncak klasemen sementara Liga Inggris makin giat menyerang, demi mencetak gol kemenangan. Malangnya, saat sedang asyik menyerang, mereka justru kecolongan tepat di masa injury time babak kedua.
Kembali berawal dari sebuah skema serangan balik cepat, Stuart Dallas sukses menjebol gawang Ederson untuk yang kedua kalinya. Alhasil, Leeds sukses mencuri tiga poin di Etihad Stadium.
Secara statistik, cara main Leeds terlihat mirip gaya main sangat defensif ala Jose Mourinho. Tapi, pressing ketat khas Bielsa membuat permainan Leeds masih enak dilihat.
Ada upaya mengejar dan merebut bola, sambil berusaha menyerang balik lawan. Hasilnya efektif, karena City yang terus menyerang sepanjang laga jadi lengah karena lupa mundur saat harus bertahan.
Efektivitas serangan dan antisipasi pada serangan balik cepat ini jelas menjadi satu kelemahan klasik khas Pep Guardiola, yang rawan dieksploitasi lawan. Apalagi jika lini serang tim lawan punya pemain berkualitas.
Di sisi lain, kemenangan Bielsa kali ini jadi sebuah pertunjukan seni bertahan  yang sangat menarik. Karena, Leeds benar-benar bermain sebagai sebuah tim yang kompak: menyerang bersama, dan bertahan bersama.
Mungkin, inilah satu alasan, mengapa Pep sangat menghormati pelatih asal Argentina, karena dalam kondisi tak ideal sekalipun, ia tetap berpegang teguh pada prinsip, dan mampu membuktikannya di lapangan.
El Loco (Si Gila) memang dikenal nyentrik, tapi itu berbanding lurus dengan keteguhannya, termasuk dalam hal berproses. Darinya kita bisa melihat, bertahan pun adalah satu hal yang enak ditonton, seperti halnya saat menyerang. Bagaimanapun, keduanya adalah bagian tak terpisahkan dalam sebuah pertandingan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H