Andai aku masih bertahan di ibukota, situasinya mungkin sulit, tapi aku tak akan merasa kehilangan seberat ini.
Belakangan, mereka mendorongku untuk mencoba tes abdi negara. Ini jelas membuatku jengkel, karena rasanya seperti diusir setelah diminta pulang.
Menyakitkan. Semoga ini buka lelucon April mop.
Andai tubuh ini normal, aku akan langsung terjun tanpa persiapan. Aku sadar, di negeri berbunga ini, diskriminasi adalah sajian rutin bagi orang sepertiku.
Aku sudah kenyang mengalaminya sejak masa sekolah. Jadi, aku perlu sedikit persiapan. Seandainya jadi, aku berharap, tak ada larangan pergi dengan alasan apapun, karena itu tugas negara.
Seandainya tidak, aku masih ingin membantu, karena ada sebentuk warisan mimpi, yang ingin coba kuperjuangkan. Tentunya, dengan caraku sendiri.
Aku paham, rasa ini lebih pahit dari kopi, teman pengantar tidurku akhir-akhir ini. Semoga, ini bisa kulalui, seperti pada masa-masa sulit sebelum aku pergi ke ibukota.
Seandainya aku harus bertahan, semoga ini memang yang terbaik buat semua, begitupun sebaliknya. Setidaknya, berikanlah aku waktu, untuk menghadapi mimpi buruk ini sampai tuntas.
Dear Diary,
Terima kasih sudah mau mendengarkan. Maaf karena kali ini wajahku terlihat muram. Sekali waktu, aku ingin bercerita dan didengar, supaya boleh tetap seimbang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H