Mereka nyaris tak pernah membantu, karena aku bisa melakukan nyaris semuanya sendirian. Aku juga bukan anak manja, yang bisa dengan enaknya minta dikirimi uang.
Di saat paling sulit, mereka hanya memintaku pulang, tapi aku memilih bertahan, dan akhirnya berhak mendapatkan pampasan perang.
Aku ingat betul, mereka memintaku pulang dengan nada panik. Alasannya, ini sedang kondisi sulit, sebaiknya mundur teratur.
Tapi aku sadar, ini perintah yang tidak untuk dituruti begitu saja. Mundur pun tetap perlu strategi supaya aman, syukur-syukur bisa mencuri kemenangan. Minimal, tak mati konyol karena kelaparan atau kena tembak.
Entah lempar granat, pasang ranjau, bumi hangus, semua bisa dilakukan, selama dilihat dengan benar.
Aku ingat, keputusan bertahan sebelum akhirnya pulang sempat dikritik habis-habisan, karena terlihat ceroboh. Aku tak peduli, karena mereka tak pernah membantu, hanya meminta pulang, sekaligus memberi jalan buntu.
Meski saldo minus selama tujuh bulan beruntun, pada akhirnya aku bisa mendapatkan saldo plus untuk lima belas bulan. Jadi, aku mundur dengan membawa pulang oleh-oleh kemenangan.
Andai aku menurut saja, situasi pasti akan lebih buruk. Tak ada yang bisa dilakukan, karena aku tetap saja jadi kambing gosong.
Saat mereka menyadari itu, mereka hanya bisa terdiam. Aku paham, mereka memang seperti itu sejak dulu. Jadi, diam adalah satu bentuk pujian.
Sayangnya, aku kembali ke lingkungan penuh dikte dan suara gaduh. Bicara salah, diam apalagi. Inilah yang akhirnya membuatku memilih diam, dan kehilangan gairah untuk bangun pagi.
Aku tak akan jengkel, jika mereka mau mengerti, kenapa aku memilih diam, kehilangan gairah untuk bangun pagi dan terlihat sibuk.