Penyesalan ini kusadari, dari seringnya aku lupa menenggak kopi. Sebenarnya aku tak peduli ini arabika atau robusta. Apapun jenis dan cara pengolahannya, kopi selalu bisa jadi teman yang baik saat hati menjerit.
Sayang, fanatisme dengan dikte kadang membuat ini jadi menjengkelkan. Tak ada ruang untuk perbedaan selera dan pendapat, padahal mereka biasa menggembar-gemborkan kata toleransi.
Ini bukan toleransi, tapi telorasin.
Andai tak ada pagebluk dan isyarat dari opa, aku mungkin tak akan pulang dan bertemu sepasang racun ini. Tapi, inilah yang harus kuhadapi sekarang.
Aku tak bisa dengan enaknya berharap mimpi buruk ini segera berlalu, seperti harapan orang-orang pada pagebluk sialan ini.
Aku hanya berharap, aku bisa melakukan seperti apa yang diisyaratkan opa, dan kalau nanti memang harus pergi, aku bisa mengenyahkan kedua racun ini.
Karena aku hanya ingin hidup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H