Itu terjadi sampai opa datang ke mimpiku, dan membawaku mengingat sejenak masa kecil, dalam rasa manis yang kusukai.
Saat aku akhirnya pulang, dan mendapat jaminan pemasukan rutin sepanjang tahun, dari tunggakan gaji di kantor, mereka hanya diam, dan kadang masih mempertanyakan keputusanku waktu itu. Seolah apa yang sudah kulakukan tak ada gunanya.
Mereka lebih suka didengar daripada mendengar, dan nyaris tak pernah menempatkan diri di posisi setara. Apa boleh buat, diam jadi satu-satunya pilihan.
Menyakitkan.
Aku berharap ini hanya sebuah mimpi buruk, walau kenyataannya memang bukan mimpi.
Oke, aku menghadapi lagi racun ini secara langsung. Apa cukup sampai disitu?
Ternyata tidak.
Ada komunitas doa, yang datang secara virtual dan ikut mengisi waktuku. Mereka berpusat di Kota Bengawan. Awalnya menyenangkan, karena mereka tidak mengikat secara berlebihan, tapi, waktu menunjukkan, mereka mulai coba mengikat dan mendikteku.
Ketidakhadiran bisa dilihat sebagai satu kesalahan, dan mereka jadi mulai coba ikut campur, pada apa yang sebenarnya bukan urusan mereka.
Mengerikan.
Jujur, aku kadang masih menyesal, karena keputusan untuk pulang hanya mengundang racun, walau tetap ada sisi menyenangkan yang kudapat.