Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Kisah Timnas Inggris dan Pemain Keturunan

17 Maret 2021   23:16 Diperbarui: 17 Maret 2021   23:20 1251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bicara soal Timnas Inggris, kesan "wow" pasti akan muncul di awal. Maklum, The Three Lions punya sejarah panjang dan kompetisi liga yang disebut-sebut sebagai salah satu yang terbaik saat ini.

Dengan profil sebagai tim juara Piala Dunia 1966, banyak pemain dari berbagai latar belakang yang ingin membela Tim Tiga Singa, karena kesempatan tampil di turnamen mayor yang cukup besar.

Salah satunya, pemain keturunan imigran asing atau diaspora Inggris di luar negeri. Ada yang memang berasal dari negara eks koloni Inggris, ada juga dari negara lain.

Dari era John Barnes (keturunan Jamaika), Owen Hargreaves (berpaspor Jerman dan Kanada), Danny Welbeck (keturunan Ghana), Eric Dier (berpaspor Portugal) sampai Raheem Sterling (Jamaika), para pemain keturunan asing ini sukses memberi warna dan keunikan khas dalam tim

Tren ini sebenarnya mirip dengan Timnas Prancis, yang banyak diisi pemain keturunan imigran Afrika atau Karibia. Begitu juga dengan Timnas Belanda yang selalu punya pemain keturunan Suriname atau Indonesia di tiap generasi.

Tapi, dalam beberapa tahun terakhir, daya tarik itu terlihat mulai luntur. Ada yang memilih timnas negara leluhurnya, seperti pada kasus Wilfred Zaha (Pantai Gading), yang sempat tampil di laga uji coba.

Ada juga yang memilih timnas negara tempat tinggalnya, seperti Jamal Musiala (Jerman). Pemain Bayern Munich ini jadi rebutan karena bakat besarnya, sebelum akhirnya mantap memilih Tim Panser, meski sempat dibujuk Gareth Southgate, pelatih Timnas Inggris.

Terkini, ada Yusuf Musah yang menolak The Three Lions. Pemain jebolan akademi Arsenal ini memang sedang berkembang pesat di Valencia. Alhasil, tiga negara langsung meliriknya, yakni Ghana (negara leluhurnya), Inggris (negara tempat orang tuanya tinggal), dan Amerika Serikat (negara kelahirannya).

Pemain berposisi gelandang ini akhirnya memilih berkostum Tim Negeri Paman Sam, karena ada prospek cerah dan proyek jangka panjang yang dirasa menarik.

Apalagi, ada sejumlah pemain berbakat di generasi terkini, seperti Christian Pulisic (Chelsea) Sergino Dest (Barcelona) dan Weston McKennie (Juventus).

Di luar itu semua, faktor lain yang juga menentukan adalah tingkat kewajaran pada sorotan media. Seperti diketahui, media Inggris dikenal cukup "ganas" dalam hal mengkritisi dan mengekspos pemain.

Mereka juga cukup gemar melebih-lebihkan sorotan pada pemain muda berbakat, dan pada akhirnya membuat si pemain layu sebelum berkembang, atau berakhir menjadi "produk gagal".

Di sini, ada Jack Wilshere, eks pemain Arsenal yang kini bermain di kasta kedua Liga Inggris bersama Bournemouth. Pada masa mudanya, eks pemain West Ham ini digadang-gadang akan menjadi bintang, tapi, sorotan berlebih media plus rentetan cedera malah membuatnya terpuruk, dan gagal mengoptimalkan potensinya.

Kebiasaan "toxic" media Inggris ini juga ikut meracuni Timnas Inggris di hampir setiap turnamen yang mereka ikuti. Ada prediksi rasa ekspektasi, dan harapan berlebih yang justru jadi beban.

Akibatnya, mereka tak pernah juara di turnamen besar sejak 1966. Paling jauh, mereka hanya jadi semifinalis Piala Dunia (1990 dan 2018) dan Piala Eropa (1996).

Selebihnya, biasa saja. Disebut demikian, karena mereka hampir selalu punya pemain berkualitas, tapi kerap kesulitan di laga krusial. Dari era Gary Lineker, Alan Shearer, Wayne Rooney, sampai Harry Kane, masalah ini hampir selalu terulang.

Bisa jadi, inilah satu alasan, mengapa Musah dan Musiala memilih timnas negara lain. Jadi, ini murni karena alasan teknis. Sebagai pemain muda, penting bagi mereka untuk bebas dari hal "toxic" supaya bisa berkembang optimal.

Di sisi lain, ini juga menunjukkan, pesepakbola di era modern sudah semakin cerdas. Mereka sudah mampu memprioritaskan hal teknis ketimbang sentimentil, demi kebaikan mereka.

Jadi, penting untuk federasi membuat program yang jelas dan berkualitas. Semakin baik programnya, akan semakin mampu menarik pemain datang tanpa harus dibujuk, sekalipun mereka tinggal di negara lain.

Menariknya, kasus Musah dan Musiala ini menunjukkan, seberapa menentukan pengaruh gaya sorotan media dalam menentukan pilihan seorang pemain muda. Semakin wajar, maka semakin baik, tapi jika sudah terlalu "toxic" itu bisa merusak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun