Pada Sabtu (27/2) lalu, saya menerima paket buku dari Kompasianer senior Ichwanul Hakim. Paket ini berisi buku berjudul "150 Kompasianer Menulis" karya Tjiptadinata Effendi, yang juga seorang Kompasianer senior.
Buku setebal 305 halaman ini menjadi sebuah hadiah spesial, untuk memperingati ulang tahun pernikahan ke 56 Opa Tjip dan Oma Tjip (sebutan saya untuk pasangan Tjiptadinata Effendi dan Roselina Tjiptadinata).
Hadiah ini terasa unik, karena mereka merayakan hari jadi ikatan cinta, dengan berekspresi lewat satu hal yang mereka cintai, yakni menulis.
Keunikan itu semakin spesial, karena Kompasianer yang jumlahnya tidak sedikit ikut dilibatkan. Di sini, Opa dan Oma Tjip membagikan momen bahagia mereka, dengan memberikan satu kebahagiaan: punya tulisan yang diterbitkan dan dicetak. Sederhana tapi penuh makna.
Pada prosesnya, saya sendiri bisa ikut menyumbang satu tulisan berjudul "Bukan Nama Dalam Legenda" di sini secara tak sengaja. Berawal dari ajakan Pak Ichwanul Hakim pada awal bulan Januari silam, semua berjalan begitu saja, sampai akhirnya buku ini tiba di rumah dengan selamat.
Selain menjadi satu memori, momen ini adalah progresi lain bagi saya, dalam perjalanan di dunia tulis-menulis.
Jika melihat lagi, perjalanan saya di dunia olah kata ini memang unik. Semua terjadibegitu saja, tanpa pernah ikut kelas menulis atau semacamnya.
Berawal dari coba-coba menulis di Kompasiana, dan interaksi di kolom komentar, sampai akhirnya ikut kopi darat dan punya tulisan yang turut dibukukan. Jujur saja, rasanya seperti mencetak gol setelah menggocek lima-enam pemain lawan, seperti gol cumlaudeDiego Maradona ke gawang Inggris di Piala Dunia 1986.
Saya sendiri pada dasarnya tidak mengincar penghargaan apa pun, karena itu hanya bonus. Menulislah yang utama bagi saya.
Menulis sendiri pada dasarnya sangat menyenangkan, karena ini adalah hal pertama yang menerima saya tanpa syarat, saat penolakan dan kesulitan datang silih berganti akibat faktor fisik, kala menapak dunia kerja selepas lulus kuliah di Yogyakarta.
Meski tidak instan, proses yang saya jalani sejauh ini sudah menghadirkan progres demi progres positif yang sangat berharga.
Ada teman yang datang satu persatu, dan pengalaman demi pengalaman sangat berharga, seperti sempat merantau ke ibukota, dengan modalnya kebetulan berasal dari menulis.
Setiap orang memang punya kecepatan progresi berbeda-beda, tapi karena menulis sebetulnya banyak melibatkan aspek spiritual, maka tak perlu repot-repot memasang rencana target kemajuan.
Biarkan sang waktu dan semesta menuntun secara spiritual, selagi logika dan daya pikir menggerakkan dengan rangkaian kata. Perjalanan selama ini sudah membuktikan itu, saya hanya tinggal mengikuti.
Entah progres apa lagi yang akan saya dapat nanti, tapi yang pasti saya tidak akan meninggalkan ini, karena dari menulis, saya bebas menjadi diri sendiri, dan terus berkembang.
Saya hanya perlu menjalani, sampai akhirnya tiba saat mengalami, karena begitulah hidup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H