Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Melihat Siklus Pendek Tim Juara di Liga Inggris

14 Februari 2021   10:16 Diperbarui: 14 Februari 2021   10:43 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jatuh. Inilah satu kata yang mengakrabi Liverpool sejak pergantian tahun. Selain mengalami sejumlah kekalahan di liga, The Kop juga masuk kotak di Piala FA.

Terakhir, tim asuhan Juergen Klopp ini takluk 1-3 atas Leicester City, Sabtu, (13/2). Meski sempat unggul lebih dulu, tiga gol di lima belas menit akhir pertandingan memaksa mereka pulang dengan tangan hampa.

Kekalahan ini semakin getir, karena turut diwarnai aksi blunder Alisson, yang gagal memotong umpan panjang pemain lawan. Sebelumnya, sang Brasileiro juga membuat sepasang blunder saat menghadapi Manchester City di Anfield.

Praktis, Mohamed Salah dkk hanya tinggal mengincar target finis di posisi empat besar, setelah musim lalu melaju kencang sebelum akhirnya meraih trofi juara Liga Inggris.

Mungkin, ini terasa ironis, karena sejatinya Klopp tak banyak mengubah komposisi tim. Mereka bahkan hanya berbelanja pemain sesuai kebutuhan.

Tapi, jika melihat tren di Liga Inggris sedekade terakhir, kejatuhan Liverpool ini menunjukkan, betapa pendeknya siklus sukses tim juara Liga Inggris.

Benar, sejak musim 2008/2009, Liga Inggris hanya punya Manchester City yang mampu mempertahankan gelar juara (2017/2018 dan 2018/2019). Selebihnya gagal total.

Di liga yang hanya didominasi satu-dua tim, fenomena ini tak akan terjadi. Kalaupun ada, kekuatan tim tersebut akan terlucuti, segera setelah jadi juara.

Di Prancis misalnya, saat AS Monaco juara Ligue 1 dan mencapai semifinal Liga Champions musim 2016/2017, mereka antara lain punya seorang Kylian Mbappe yang subur dan Fabinho yang serba bisa.

Setelahnya, semua tak lagi sama. Mbappe ditarik ke PSG, yang kembali menjaga hegemoni di liga. Setelahnya, giliran Fabinho pindah ke Liverpool.

Contoh lainnya terjadi di Bundesliga Jerman, dimana Bayern Munich biasa menggembosi kekuatan tim lawan, dengan Borussia Dortmund sering jadi korban.

Belakangan, mereka mulai melakukannya, bahkan kepada tim yang belum sampai jadi juara. Ini misalnya terlihat, pada transfer Dayot Upamecano dari RB Leipzig. Bek tangguh asal Prancis ini bergabung dengan The Bavarians musim panas mendatang.

Fenomena kurang lebih mirip, tapi sedikit berbeda juga terjadi di Italia, dengan Juventus sebagai aktornya. Si Zebra mampu mendominasi liga sedekade terakhir, selagi tim rival masih saja inkonsisten.

Ini dapat terwujud, bukan hanya lewat cara mencomot pemain bintang tim rival, seperti pada kasus transfer Gonzalo Higuain dari Napoli, tapi juga juga dari kejelian manajemen mereka, seperti pada transfer gratis Andrea Pirlo dan Paul Pogba, atau transfer mahal saat mendatangkan Cristiano Ronaldo.

Tapi, fenomena ini sulit terjadi di Liga Inggris. Maklum, meratanya distribusi pendapatan, dan kuatnya permodalan dari pemilik klub mampu membuat sebuah tim berbelanja secara gila-gilaan.

Belum lagi, sokongan dana sponsor yang jumlahnya cukup besar, plus manajemen klub yang rata-rata sudah profesional. Itu baru soal finansial dan manajemen.

Soal teknis, selain banyak mendatangkan pemain atau pelatih kelas top, ada kemajuan teknologi yang juga digunakan dengan optimal. Mereka mampu menganalisis tim lawan secara mendalam, sampai menemukan kelemahan yang mampu dieksploitasi.

Inilah yang membuat tim juara bertahan sulit mempertahankan gelar. Siklus era sukses sebuah klub pun menjadi lebih pendek. Mereka cepat "habis" meski pada prosesnya dibangun dalam waktu tidak sebentar.

Jika pepatah mengatakan "don't change the winning team", maka rumus sukses di Liga Inggris justru berkata "keep changing the winning team.".

Alasannya sederhana saja. Tim yang sudah juara akan lebih mudah diantisipasi, kecuali jika mereka konstan melakukan perubahan. Entah dalam hal variasi taktik, membeli pemain baru, atau yang lainnya.

Boleh dibilang, Liga Inggris menawarkan tantangan level berikutnya, untuk tim yang ingin mendominasi liga. Caranya bukan lagi menggembosi kekuatan tim juara, tapi dengan melakukan modifikasi, untuk meningkatkan kekuatan tim secara konsisten.

Sederhananya, kompetisi di Liga Inggris bukan hanya bicara soal materi pemain, tapi lebih dari itu. Inilah yang membuat persaingan Liga Inggris lebih intens, meski ini membuat siklus era sukses sebuah tim jadi pendek.

Jadi, akan sulit melihat lagi sebuah era dominasi, seperti saat Manchester United dengan begitu mudahnya meraih juara liga di era 1990-an. Dominasi ini masih berlanjut di era 2000-an, dengan hanya Chelsea dan Arsenal yang mampu menggondol gelar liga selain mereka, sebelum akhirnya turun layar setelah Sir Alex Ferguson pensiun tahun 2013.

Kalaupun nantinya ada, berarti tim tersebut sangat istimewa, karena solid di berbagai sisi. Soal ada atau tidaknya, biar waktu yang menunjukkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun