Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hujan dan Awal Tahun

31 Desember 2020   16:40 Diperbarui: 31 Desember 2020   17:06 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Tribunnews.com)

"Hujan di awal tahun adalah pertanda baik."

Itulah ujaran yang kudengar, tiap kali hujan deras mengguyur di awal tahun. Seolah, alam memang berkata begitu.

Tapi, siapakah kita ini, sampai bisa mendikte alam seperti itu?

Bukannya benci, tapi hujan di awal tahun sudah meninggalkan sebentuk jejak masa-masa sulit. Tahun kembar penuh pagebluk dimulai dengan hujan semalam suntuk yang membawa serta banjir besar di ibukota.

Sebelum tahun kembar penuh pagebluk saja, memori sumir sudah terbayang.

Enam tahun sebelumnya, hujan awal tahun menjadi latar momen saat ke gereja bersama Opa di Kota Dingin. Dalam terpaan gerimis khas kaki pegunungan, tak ada yang menyangka, ini akan jadi yang terakhir buatku. Opa berpulang di bulan berikutnya, dalam usia yang memang sudah sangat lanjut.

Jadi, aku selalu berharap, hujan awal tahun tak datang. Cukuplah cerah atau berawan sepanjang hari, tanpa ada air mata dari langit.

Aku tak ingin terlalu mendikte atau mensugesti diri berlebihan. Aku sadar, aku terlalu kecil dan lemah, untuk mendikte alam dan Tuhan sebegitu rupa.

Aku tak mau berharap terlalu banyak, karena hujan awal tahun sudah mengajarkan begitu. Semakin tinggi harapan yang digantungkan, semakin besar pula rasa sakit yang siap memukul balik kapan saja.

Hujan di awal tahun memang bisa meredam keriuhan pesta kembang api. Tapi, ia hanya alarm agar selalu waspada. Bisa saja ini pertanda buruk, bisa juga pertanda baik.

Di ujung tahun kembar ini, aku tak ingin punya mimpi berlebih. Cukup jalani yang harus dijalani sampai tuntas. Terus melangkah sampai akhirnya sampai di ujung jalan.

Orang sepertiku mungkin akan membuat profesi motivator bangkrut, dan terus jadi bulan-bulanan keluarga besar. Aku terlihat tanpa mimpi, tanpa target, dan berjalan begitu saja.

Menyedihkan?

Tunggu dulu.

Ini bukan sesuatu yang menyedihkan, karena aku tak meracuni diri dengan bar-bar. Jika sebuah mimpi berubah jadi obsesi yang gagal dicapai, itu adalah awal sebuah aib.

Kegagalan dipandang sebagai sukses yang tertunda, dan akan ada sepaket kebohongan lain yang mengikutinya.

Ada yang berlagak sukses, tapi gali lubang tutup jurang. Ada yang bermulut manis tapi jago menipu orang. Ada juga yang sudah ambruk tapi tetap angkuh, karena merasa diri lebih tinggi dari yang lain.

Saat semua itu terbongkar, tak ada lagi yang bisa dibanggakan. Cita-cita sangat tinggi sudah menjadi aib, tidak bunuh diri saja sudah sangat bagus.

Menyedihkan bukan?

Hujan awal tahun memang sudah memberi banyak pesan berharga. Benar, sebuah pesan peringatan bukan tempat menggantung asa. 

Tapi, aku berharap hujan tak datang di awal tahun, karena itu akan memutar ulang memori di momen sulit, seperti sebuah rekaman video. Andai ternyata tetap hujan, semoga aku bisa melewatinya dengan selamat.

Aku hanya ingin memulai tanpa beban, tanpa target muluk, supaya bisa menikmati semuanya dengan lepas, dan menyelesaikan dengan hati lega.

Apapun yang terjadi nanti, biarlah itu terjadi sesuai waktu dan porsinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun