Bicara soal Natal, tentu tak lepas dari ingar bingar perayaan dan euforia. Di era medsos ini, segala hal terkait Natal menjadi sebuah paradoks, karena gereja yang menjadi titik pusat perayaan yang seharusnya khidmat, justru menjadi titik pusat ingar bingar.
Ada perayaan di gereja, tapi gereja hanya menjadi panggung aktualisasi diri manusia. Alih-alih Tuhan (yang lahir ke dunia), manusia-lah yang kerap menjadi "tokoh utama" perayaan Natal.
Fenomena ini sebetulnya sudah menjadi topik bahasan, sekaligus kritik rutin, karena gereja hanya penuh sesak, bahkan kelebihan kapasitas, setiap hari raya Natal dan Paskah datang. Selebihnya, terlupakan begitu saja.
Ironisnya, kedua hari raya ini adalah momen dimana Yesus rela mengosongkan diri. Sebagai Tuhan, ia rela menanggalkan ke-Tuhan-anNya, karena kasihNya yang begitu besar kepada umat manusia.
Pada saat Natal, Dia terlahir ke dunia sebagai manusia. Bukan di istana, bukan sebagai superhero, tapi sebagai seorang bayi mungil di kandang domba.
Pada saat Paskah, Dia rela menderita sengsara, demi menanggung dosa umat manusia. Sungguh ironis, karena ini terbalik dengan realita kekinian.
Yesus, dalam posisiNya sebagai Tuhan, rela mengosongkan diri menjadi manusia, di saat segelintir orang justru coba men-Tuhan-kan diri, atau minimal menganggap dirinya lebih tinggi dari sesamanya.
Dari tahun ke tahun, fenomena ini sudah menjadi satu kebiasaan buruk, yang membuat sebagian orang merasa "terasing di rumah sendiri", karena gereja di hari raya terlihat berbeda. Tak ada keleluasaan menjadi diri sendiri, karena apa yang terlihat dari luar lebih menarik dari apa yang sudah siap dihadirkan dari dalam.
Tapi, momen pagebluk di tahun kembar sudah menjungkirbalikkan semua kebiasaan buruk ini tanpa ampun. Tak adanya aktivitas ibadah di gereja selama berbulan-bulan terakhir menghapus langsung kebiasaan "aktualisasi diri" di gereja, khususnya pada hari raya.
Pagebluk ini mampu memaksa "aktualisasi diri" terpinggirkan sejenak oleh kesadaran untuk "mengosongkan diri". Kekosongan ini muncul, baik karena kondisi ekonomi sulit secara lahir, maupun tumbuhnya kesadaran batin untuk "pulang" sejenak sebagai diri sendiri saat beribadah.
Masa pagebluk ini sukses membuka mata banyak orang, tentang seberapa berharganya sebuah kehadiran nyata, meski dari jarak jauh, ketimbang penampilan bagus, tapi hati dan pikiran piknik kemana-mana. Tak peduli sesederhana apapun penampilan, selama ia bisa hadir secara nyata, itu sudah lebih dari cukup.