Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku dan Dia

12 November 2020   17:37 Diperbarui: 20 November 2020   22:25 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Progfree.com)

"Sebaiknya kamu pulang kampung atau mengungsi ke tempat kerabatmu."

Saran itu meluncur dari mulutnya, saat aku memutuskan untuk masih bertahan di kota, dan bekerja seadanya sambil terus mencari peluang di masa sulit.

Mungkin, sarannya ini terdengar logis, apalagi di masa pagebluk begini. Tapi, entah kenapa, aku jadi merasa jijik kepadanya. Orang ini kelewat dungu untuk memahami keadaan. Cara berpikir dan sikapnya masih sama persis dengan saat kami sekolah dulu.

Sudah hampir setahun sejak pagebluk datang, dan sarannya selalu sama, bahkan saat akhirnya aku bisa menikmati saldo rekening sedikit bertambah, untuk pertama kalinya sejak kuartal pertama tahun kembar. Meski sedikit, aku tetap bersyukur, karena pagebluk ini sungguh gila.

Aku tahu, dia sedang pusing gara-gara pagebluk membuat bisnisnya oleng. Tapi, tak kusangka itu membuat otak dan hatinya tetap kerdil. Tak ada sedikitpun rasa, saat dia tahu aku masih dan bisa bertahan di situasi sulit.

Memang, aku dan dia besar di lingkungan berbeda. Aku besar di rumah, sekolah dan jalanan. Dengan kondisi tubuh dan ekonomi seadanya, semesta menuntunku untuk menjalankan semua kewajiban sampai tuntas, dan tak lari dari kenyataan.

Keadaan membentuk tubuh ringkih ini menjadi sosok keras kepala, karena semua serba tak mudah. Tapi, kebandelan itu malah selalu mendatangkan rasa hormat sangat dalam, yang kadang membuatku agak risih.

Tak ada yang spesial, karena aku hanya melakukan yang sudah seharusnya dilakukan. Inilah cara keadaan mendidik, supaya aku bisa hidup dengan bertanggung jawab, dan menghormati orang tua tanpa harus bercuap-cuap.

Aku tak pernah ingin jadi bintang dalam sorotan. Karunia titipan seperti itu bukan untuk dikejar. Masih diingat dan punya hubungan baik yang boleh tetap terjaga saja sudah sangat bersyukur.

Dia?

Ah, sebetulnya dia punya segalanya. Semua serba ada, bisa pergi kemana saja dia mau, dan punya tubuh sehat.
Tapi, semua kemudahan itu justru membuatnya silau.

Dia memandang sinis sistem pendidikan yang bobrok,  membanggakan keputusan "drop out" nya semasa kuliah di mancanegara dan sekolah menengah, hanya karena dirinya sudah menjadi pimpinan sebuah perusahaan kecil dan sering mendapat perhatian khalayak.

Rasanya, semua memang terlalu mudah buatnya. Tanpa harus tamat sekolah menengah pun, ia sudah punya status mentereng berkat sokongan orang tuanya. Tak ada yang istimewa.

Putus sekolah, tapi jadi tuan bagi para sarjana, atau tamatan SMK yang sudah kenyang pengalaman hidup. Inilah yang membuatnya tampak begitu bangga setengah mati, dan terus menyebut bobroknya pendidikan di negeri ini.

Ironis!

Memang, masih ada kekurangan di sana-sini, tapi nyatanya aku bisa menyelesaikan dengan kondisi fisik seadanya. Kalau memang bobrok, seharusnya dia bisa menyelesaikan dengan mudah, tanpa harus pergi ke luar negeri.

Tapi, seiring berjalannya waktu, aku menyadari, hidupnya sudah diracuni obsesi menjadi bintang. Dia haus akan sorotan, dan ingin orang lain menirunya

Aku tak ingat, berapa kali ia berusaha meracuni pikiranku untuk jadi bintang dengan menjual kondisi fisik ini. Jujur, ini sebuah penghinaan buatku. Aku tak menyangka, dia punya pandangan picik.

Awalnya, aku memilih untuk terus diam dan memaklumi, karena dia bukan orang yang biasa turun ke bawah. Ia memang bak berada jauh di atas, seperti satelit yang melampaui langit.

Tapi, pagebluk ini justru menelanjangi dirinya tanpa ampun. Datangnya masa sulit justru membuat harga diri dan kebintangannya dia rusak sendiri lewat keputusan dan saran kurang bertanggung jawab yang terus dibuatnya.

Dengan saran yang selalu sama, aku melihat dia sudah buntu, seperti orang linglung. Dia tak pernah berhadapan dengan situasi sulit, dan selalu ingin lari dari tanggung jawab.

Konyolnya, ia malah dengan enaknya berlibur ke sana-sini, dan mengemis dukungan demi menjaga image sukses. Menggelikan sekali.

Sekolah memang tak sepenuhnya bisa menjamin nasib seseorang. Ia hanya latihan kecil untuk bisa hidup secara bertanggung jawab, dengan hati selalu menjejak tanah. Dua hal ini sebenarnya bisa didapat di luar sekolah, tapi bukan untuk mereka yang hanya ingin jadi bintang.

Meski menjengkelkan, aku tetap ingin berterima kasih kepada pagebluk ini, karena ia berhasil menelanjangi manusia-manusia dungu, dan menampakkan wujud asli mereka.

Setelah ini semua berlalu, aku hanya akan menganggapnya sebagai seorang pelawak dan bintang iklan. Tak ada yang bisa berkembang dari pikirannya.

Saat kesulitan datang, apa yang bisa diharapkan, dari orang yang tak kenal dunia?

Tapi, percayalah, kami teman, jauh sebelum dia (merasa) jadi siapa-siapa, dan akan seterusnya menjadi teman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun