Begitulah bunyi salah satu "rumus gaya hidup kekinian", yang belakangan membuat senja terasa begitu romantis, kelas menulis pun mendadak laris, layaknya warung kopi kekinian di kota besar. Tapi, saya justru punya pandangan berbeda.
Meski hanya seorang penulis amatir, saya justru melihat ketiganya sebagai sebuah kombinasi yang menciptakan "latah", bukan hobi. Dalam hal ini hobi menulis, sebuah hobi yang terlihat intelek, tapi bisa jadi senjata makan tuan jika disalahpahami, apalagi disalahgunakan.
Ini memang menjadi satu fenomena umum di era media sosial seperti sekarang. Maklum, kebutuhan akan aktualisasi diri semakin menjadi penting.
Dari ketiga hal tersebut, hasrat aktualisasi diri sebenarnya sudah terlihat. Lebih tepatnya, ini adalah satu "rumus pencitraan" biasa.
"Senja", biasa digunakan untuk menonjolkan kesan romantis, elegan, atau artistik. Senja memang selalu terlihat menakjubkan di cuaca cerah.
Tapi, menghubungkannya secara sembarang dengan menulis adalah sebuah kerancuan, kecuali jika ide itu memang datang di waktu senja.
Meski ide menulis bisa datang kapan dan di mana saja, setiap orang pasti punya waktu ideal atau favorit sendiri-sendiri, untuk mengeksekusi ide ke dalam tulisan.
Ada yang merasa lebih nyaman menulis di pagi hari, ada juga yang merasa nyaman di tengah malam. Jadi, ini bukan sesuatu yang bisa digeneralisir semaunya.
Jelas, waktu adalah medium, ide adalah momentum, tapi rasa nyaman adalah kunci. Tanpa itu, sebuah tulisan tak akan ada dimulai, apalagi selesai.
Lagipula, menulis adalah kegiatan yang butuh konsentrasi penuh, dengan sedikit ketenangan sebagai alat bantu. Hanya manusia super yang bisa melakukan hal ini di tengah keramaian, bahkan sambil eksis di media sosial, tanpa bertemu hambatan sama sekali.
Jangan lupa, menulis bukan kegiatan yang pas, buat mereka yang selalu ingin instan. Menulis adalah satu kemampuan yang akan semakin tajam, jika rajin ditempa. Tentunya, lewat proses yang panjang dan tak mudah.
Di sisi lain, menghubungkan senja dengan kopi (kekinian) kadang tak kalah membingungkan. Kopi memang menjadi bagian dari gaya hidup kekinian, dan bisa menjadi "moodbuster" alias bahan bakar buat banyak orang, termasuk para penulis.
Masalahnya, tak semua orang doyan minum kopi saat senja. Ada yang doyan minum di pagi hari, bahkan tak doyan sama sekali.
Soal hubungan kopi dan menulis, sebenarnya juga tergolong relatif. Maklum, ada juga yang punya moodbuster selain kopi. Entah makan cemilan, tidur, atau yang lainnya.
Praktis, yang membuat senja, kopi, dan menulis menjadi relevan adalah jika ada rapat atau acara kopi darat para penulis di warung kopi. Satu lagi, minum kopi saat senja adalah hal wajar, bagi mereka yang kerja lembur, ingin menulis, atau sedang bertugas di malam hari.
Jadi, daripada mengagngkan mantra "senja, kopi, menulis", hanya demi terlihat "romantis, kekinian, dan intelek", ada kalanya ini perlu dilihat ulang, apakah sesuai dengan diri sendiri atau tidak. Jangan sampai, kita lupa siapa diri kita, akibat terlalu mengikuti "latah". Karena, latah tak pernah berumur panjang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H