Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

UU Cipta Kerja dan Budaya Membaca Kita

8 Oktober 2020   19:57 Diperbarui: 8 Oktober 2020   20:00 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menyusul disahkannya RUU Cipta Kerja menjadi Undang-Undang oleh DPR, pro kontra bermunculan. Bentuknya pun beragam, ada yang berkicau di media sosial, membuat tulisan, sampai melakukan aksi unjuk rasa di jalanan.

Tapi, diantara semua cara yang digunakan, entah untuk mendukung atau mengkritisi, ada satu cara yang menurut saya paling aneh. Apa itu?

Cara itu adalah seruan untuk membaca secara detail seluruh isi UU Cipta Kerja, dengan tebal kurang lebih 900 halaman. Sekilas, saran ini terdengar sangat intelek, tapi apakah saran ini tepat?

Jujur saja, ini adalah saran teraneh yang pernah saya dengar. Dengan segala hormat, tanpa bermaksud aneh-aneh, saya justru merasa, saran ini justru kontraproduktif.

Seperti diketahui, tingkat literasi di Indonesia masih relatif rendah. Untuk praktisi hukum, atau mereka yang memang gemar membaca saja, butuh waktu dan pemahaman ekstra untuk menyimpulkan semuanya secara utuh.

Maklum, ini 900 halaman berisi pasal-pasal perundang-undangan, dengan ketentuan hukum yang sifatnya serius. Bobotnya jelas jauh berbeda dengan novel komedi setebal 900 halaman.

Walaupun yang mengesahkan RUU Cipta Kerja ini adalah pihak yang rajin membuat lelucon politik di mata rakyat, kita jelas sadar, UU Cipta Kerja ini adalah satu hal yang dampaknya akan sangat serius.

Mungkin, satu-satunya keajaiban di sini adalah, DPR mampu bergerak cepat di masa pandemi, untuk menggolkan undang-undang omnibus satu ini.

Tapi, kita harus paham, seperti apa realita di masyarakat, terutama mengingat budaya membaca di negara ini masih belum terlalu tinggi.

Jangankan membaca kitab perundang-undangan setebal 900 halaman, membuka pintu minimarket saja kadang masih tidak sesuai instruksi dalam tulisan.

Padahal, instruksinya sangat sederhana, "tarik" atau "dorong". Di sini, kita kadang menemui orang yang menarik pintu saat seharusnya didorong, atau sebaliknya. Belum lagi kalau ibu-ibu yang suka "sign kanan beloknya ke kiri" masuk hitungan.

Baru perkara instruksi satu kata atau hal sederhana saja sudah kacau, apalagi membaca kitab perundang-undangan setebal 900 halaman, mungkin kepala sudah berasap seperti lokomotif uap.

Jadi, daripada membuat saran kontraproduktif seperti ini, akan lebih baik, jika kita mulai menanamkan dan memperkuat budaya baca. Memang pahit, tapi mengakui kekurangan di awal selalu jauh lebih baik, daripada mengakuinya di akhir.

Siapa tahu, dari situlah cara lebih cerdas dalam berpendapat bisa ikut dibudayakan, misalnya dengan menulis. Ini jelas lebih baik, daripada berdebat kusir atau melakukan aksi demo menjurus anarkis, karena sifatnya lebih konstruktif.

Di sisi lain, pemerintah dan pihak terkait seharusnya lebih arif di masa depan, jika membuat keputusan penting seperti ini. Jangan sampai kegaduhan selalu mendahului klarifikasi, tapi dahulukan sosialisasi dan koreksi, sebelum akhirnya menghasilkan konklusi.

Ini penting, terutama dalam masa krisis akibat pandemi seperti sekarang. Dimana, negara seharusnya benar-benar hadir, dengan menjamin rasa aman dan tenang buat warganya, bukan malah rajin membuat kegaduhan dan kekhawatiran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun