Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Saat Akhir Pekan Menuju Tinggal Kenangan

6 Oktober 2020   12:53 Diperbarui: 6 Oktober 2020   13:09 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah sempat diliputi pro-kontra, akhirnya pada Senin (5/10), Undang-Undang Cipta Kerja resmi disahkan DPR. Ada beberapa poin dari Undang-Undang ini, yang menuai pro-kontra, salah satunya adalah tentang penghapusan hak libur 2 hari dalam seminggu.

Aturan ini tercantum di Bab IV Pasal 79 ayat 2b  UU Cipta Kerja. Dimana, pekerja diberi waktu libur sehari dalam seminggu. Otomatis, jumlah hari kerja akan naik, dari lima hari menjadi enam hari.

Sebelumnya, pada UU Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003, diatur ketentuan waktu libur yang lebih fleksibel. Dimana, istirahat 2 hari berlaku untuk 5 hari kerja dalam seminggu, dan 1 hari untuk enam hari kerja.

Pada prakteknya, kebanyakan perusahaan menerapkan 5 hari kerja, dengan 2 hari istirahat di akhir pekan. Jika hari kerja ditambah satu lagi, agaknya akhir pekan tinggal kenangan.

Terkait UU Cipta Kerja sendiri, pemerintah banyak menyebut, ini adalah satu cara ideal meningkatkan level daya saing Indonesia. Tapi, saya justru melihat ini sebagai satu kemunduran.

Entah apa yang dipikirkan para perumus Undang-Undang ini, sampai mereka bisa berpikir terbalik. Bukannya fokus memperbaiki budaya kerja, mereka malah menambah jumlah jam kerja dalam sepekan.

Itu belum termasuk total jam lembur dalam sepekan, yang naik menjadi 18 jam kerja, dari yang sebelumnya 14 jam.

Saya menyebut cara berpikir mereka terbalik, karena aturan ini diterapkan, justru pada saat negara lain sudah mulai berlomba-lomba menerapkan budaya kerja efektif, yang jelas-jelas mengedepankan kualitas hasil kerja, bukan kuantitas jam kerja.

Walaupun maksudnya baik, penambahan jam kerja ini bisa jadi bumerang. Dengan bertambahnya jam kerja, tekanan kerja yang didapat akan semakin besar. Bukannya makin produktif, tapi malah kontraproduktif.

Otomatis, penghormatan pada privasi pekerja makin berkurang, dan ini akan jadi ironi. Karena, nilai budaya kita dihilangkan begitu saja, tapi di saat bersamaan, kita masih mengklaim diri sebagai bangsa yang berbudaya.

Yang benar saja!

Alih-alih meningkatkan daya saing, tingkat depresi dan kelelahan justru bisa meningkat. Di negara-negara dengan etos kerja lebih "keras", seperti di Jepang dan Korea Selatan, masalah ini menjadi salah satu penyebab umum kematian pekerja, baik karena bunuh diri, atau kelelahan bekerja.

Itu masih belum termasuk kematian atau cacat fisik akibat kecelakaan kerja karena kelelahan. Jadi, ada risiko besar yang mau tak mau harus siap ditanggung para pekerja.

Kekhawatiran lain yang muncul adalah, dalam UU Cipta Kerja ini, pemerintah dan pemberi kerja akan cenderung memperlakukan pekerja bukan sebagai aset yang harus diberdayakan dan dimanusiakan, tapi onderdil yang bisa dibongkar pasang semaunya.

Apalagi, akses masuk untuk pekerja asing akan dipermudah. Jika ada transfer ilmu, ini akan berkurang dengan sendirinya. Masalahnya, bagaimana jika nanti jumlah tenaga kerja asing malah terus bertambah?

Bisa-bisa, nanti tenaga kerja kita malah jadi tamu di rumah sendiri. Tingkat pengangguran meningkat, tapi tak ada yang mau disalahkan, karena semua sibuk saling menyalahkan.

Praktis, kini kita tinggal berharap pada mereka yang ingin mengajukan uji materi UU Cipta Kerja. Tentunya, kita berharap, poin-poin yang mengundang pro-kontra bisa diperbaiki, kalau perlu dihilangkan, supaya pemerintah bisa lebih fokus mengoptimalkan kualitas hasil kerja, ketimbang hanya menambah kuantitas jam kerja.

"Quality without results is pointless. Results without quality is boring."  Johan Cruyff

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun