Alih-alih meningkatkan daya saing, tingkat depresi dan kelelahan justru bisa meningkat. Di negara-negara dengan etos kerja lebih "keras", seperti di Jepang dan Korea Selatan, masalah ini menjadi salah satu penyebab umum kematian pekerja, baik karena bunuh diri, atau kelelahan bekerja.
Itu masih belum termasuk kematian atau cacat fisik akibat kecelakaan kerja karena kelelahan. Jadi, ada risiko besar yang mau tak mau harus siap ditanggung para pekerja.
Kekhawatiran lain yang muncul adalah, dalam UU Cipta Kerja ini, pemerintah dan pemberi kerja akan cenderung memperlakukan pekerja bukan sebagai aset yang harus diberdayakan dan dimanusiakan, tapi onderdil yang bisa dibongkar pasang semaunya.
Apalagi, akses masuk untuk pekerja asing akan dipermudah. Jika ada transfer ilmu, ini akan berkurang dengan sendirinya. Masalahnya, bagaimana jika nanti jumlah tenaga kerja asing malah terus bertambah?
Bisa-bisa, nanti tenaga kerja kita malah jadi tamu di rumah sendiri. Tingkat pengangguran meningkat, tapi tak ada yang mau disalahkan, karena semua sibuk saling menyalahkan.
Praktis, kini kita tinggal berharap pada mereka yang ingin mengajukan uji materi UU Cipta Kerja. Tentunya, kita berharap, poin-poin yang mengundang pro-kontra bisa diperbaiki, kalau perlu dihilangkan, supaya pemerintah bisa lebih fokus mengoptimalkan kualitas hasil kerja, ketimbang hanya menambah kuantitas jam kerja.
"Quality without results is pointless. Results without quality is boring."Â Johan Cruyff
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H