Aku tak punya kenangan sempurna di sana, karena aku bukan orang untuk dikenang atau dirindukan. Lagipula, kota ini bukan tempat yang tepat untuk hidup dan bekerja secara biasa.
Selama tiga belas tahun tinggal di sana, aku melihat, hampir semua hal indah tentangnya hanya milik para borjuis, atau para dayangnya. Ini adalah tempat kesederhanaan diromantisasi sedemikian rupa, tanpa pernah ada niat sangat serius untuk berbenah.
Kesederhanaan menjadi alat untuk merawat ketimpangan, dan itu semakin terlihat saat modernisasi terus menggeliat. Ada zona nyaman semu, yang menemaninya, dalam bentuk rasa sinis pada dunia luar.
Maaf jika aku punya cara pandang berbeda. Keadaanlah yang menuntunku ke sana.
Jadi, izinkan aku bertanya.
Apalah artinya sebuah modernisasi dan pertambahan masif jumlah toko modern, jika pertambahan angka standar upahnya masih lamban?
Apalah arti rindu dan kenangan, jika itu hanya roman picisan?
Di mana letak ketenangan, jika hari-harimu selalu diisi pertanyaan rasa interogasi tanpa ujung?
Dimana letak kedamaian, jika dirimu malah dijerat belenggu, saat kesempatan untuk hidup dan berjuang sebagai manusia datang?
Tak tahukah mereka rasanya dipaksa kalah sebelum bertanding?
Lupakah aku, soal rasanya jadi pesakitan, jadi gunjingan dan dianggap tak becus?