"Aku sangat menghargai tekadmu untuk mandiri, tapi lihatlah keadaan."
Itulah pesan dari ayah, yang membuatku seperti bola tenis, diangkat sampai melambung ke atas, lalu di-smash ke bawah dengan kencang.
Aku tak kaget dengan gaya itu, karena inilah satu kebiasaan kultural di Kota Klasik, tempat dimana sayur asem dan sambal pun terasa manis.
Di lain kesempatan, ibuku juga berkata,
"Lihatlah keadaan sekitar. Pulanglah jika harus pulang. Pasti ada jalan lain buatmu."
Benar, di masa pagebluk ini semua memang serba tak pasti. Pemotongan gaji terlihat penuh darah, seperti pasar hewan di Hari Raya Kurban. Kadang, ia bisa datang sangat terlambat, bahkan hilang tanpa jejak.
Tapi, aku lebih memilih bertahan di ibukota, karena memang masih ada yang harus diperjuangkan dan kuselesaikan sampai tuntas. Mungkin situasinya terlihat sulit, dan keputusan bertahan terlihat gila.
Aku berani memutuskan begitu, karena pulang tidak akan menyelesaikan masalah. Aku mungkin bisa saja duduk tenang sambil minum kopi di rumah, seperti seorang pensiunan, atau tertawa bersama kelucuan di luar sana.
Mungkin pilihan itu terlihat menarik buat sebagian orang, terutama buat mereka yang sangat mendambakan tinggal di sana. Tenang, tanpa hiruk pikuk, apalagi drama. Begitu kata banyak orang.
Benarkah?
Sebetulnya tidak juga. Semua itu hanya milik mereka yang kaya tujuh turunan di sana. Aku hanya pendatang dari Kota Dingin. Tak ada ikatan romantis apapun dengannya, dan aku merasa semua urusanku di sana sudah selesai.