Dengan enaknya, ia lalu mengurangi jumlah pegawai secara besar-besaran, sebelum akhirnya pening sendiri. Entah saran apa yang didapatnya, sampai hampir semua orang diberhentikannya secara mendadak. Sial, kali ini aku jadi salah satunya.
Seharusnya ia tahu, masa krisis adalah masa prihatin. Sebagai seorang Bos, seharusnya dia bisa menemukan solusi terbaik mengatasi masalah, bukan malah menambah masalah.
Belakangan, ia memang berkeluh kesah kepadaku soal tugasnya yang makin rumit sejak hampir semua orang pergi.
Benar, tempat itu seperti rumah reyot yang hampir semua bagiannya dibesituakan, karena tak ada lagi yang bisa dijual. Penghuninya selalu dicekam kuatir, tiap kali cuaca buruk dan badai datang.
"Pagebluk ini memang gila. Aku pusing karena harus mengerjakan semua sekaligus.", Keluh Bos Asli kepadaku
"Yah, sudah risiko, apalagi kalau personelnya tinggal seiprit. Siap-siap rangkap jabatan, seperti kue lapis. Selorohku.
Aku memang masih bisa membantu mendengar keluh kesahnya. Tapi, aku jelas tak bisa berbuat banyak. Ini keputusannya sendiri, masalahnya sendiri, dan bukan lagi masalahku.
Pada akhirnya, hanya tinggal tiga orang kuat ini yang tersisa. Dulu, mereka memang Trio Macan di rumah itu, tapi kini mereka kelimpungan sendiri, karena harus mengerjakan semua sekaligus.
Terpaan nonstop badai krisis sukses memporak-porandakan rumah bobrok itu. Â Mereka kehilangan semua gigi dan kukunya, karena tak ada lagi yang bisa dimakan. Lama kelamaan, mereka makin kurus kering, dan menjadi serupa dengan kucing liar tua.
Saat menyadarinya, mereka hanya bisa menyesal. Mereka tak lagi sekuat dan sepenting yang mereka kira. Mereka memanen buah dari kekacauan yang mereka buat sendiri, saat alam menyeleksi lewat pagebluk.
Kami tak sedih melihatnya, karena dulu kami hanya pecundang di mata mereka. Ternyata, semesta membuktikan, mereka bahkan jauh lebih buruk, dari yang mereka anggap buruk.