Si Nyonya Kecil memang pernah meragukan komitmenku, karena aku tidak masuk sangat dalam ke jangkauannya. Aku cenderung lebih memilih berada di tengah-tengah, karena jika terlalu masuk, ia hanya akan membuatku jadi bonsai.
Aku tak ragu mengkritiknya, jika memang ia pantas dikritik. Secara teknis, ia memang memandangku musuh, hanya karena aku memilih berjalan lurus, sementara ia sungguh berbelit-belit.
Secara politis, aku juga menjadi lawan alaminya, karena aku sudah dilibatkan Bos Asli, sejak masih kerja sukarela. Aku tak punya motif apapun, selain membantu Bos Asli, teman yang memang sudah kukenal sejak masih remaja.
Tapi, meski punya hubungan baik yang terjaga selama bertahun-tahun, ada beberapa hal yang kadang membuatku merasa ganjil dengannya. Aku melihat, ia sangat haus akan sorotan dan pengakuan.
Mungkin, ini adalah kompensasi, karena ia tak menuntaskan studi sampai dua kali. Apapun penyebabnya, catatan sejarah ini selalu berhasil membuat kepalanya pening, jika orang menanyakan titel pendidikannya.
Di sini, aku hanya bisa menyarankan, "Carilah nama baptis di gereja, atau pergilah naik haji'. Supaya titelnya bisa kau pasang di depan, bukan di belakang."
Padahal, sebagai anak orang berada, ia punya segalanya. Ia punya kesempatan, tapi malah disia-siakan. Tak sadarkah ia, banyak orang diluar sana berjuang untuk ini, meski serba berkekurangan?
Kehausan akan sorotan dan pengakuan juga sudah membuatnya jadi seorang "playboy" handal. Ia gemar berganti pasangan, seperti berganti ponsel. Ini terus berlanjut, sampai hatinya berlabuh di Nyonya Kecil.
Sejak saat itu, aku melihat hatinya jadi tumpul. Ia selalu bergaya hedonis, bahkan saat badai krisis datang, dan tak segan memperlakukan orang seperti kain pel basah. Aku yang awalnya bersikap biasa saja, akhirnya mulai merasakan situasi semakin rumit. Apalagi, saat badai krisis ternyata berkepanjangan.
Awalnya, ia memotong gaji dengan drastis, lalu memutus tunjangan kesehatan. Saat situasi semakin buruk, ia menyalahkan semua orang, karena kinerjanya dianggap anjlok.
Bagaimana mungkin kami bisa maksimal, kalau situasi sedang krisis, daya beli anjlok, dan gaji terpotong sangat banyak? Di mana dukungan yang seharusnya ada di saat krisis? Adakah dukungan yang mereka berikan? Ada. Kami hanya disuruh ikut yoga dan bersabar tiap gaji terlambat. Selebihnya, ahsudahlah.