"Tenangkan pikiran, hati, dan jiwa. Rasakan kedamaian dalam setiap tarikan nafas...."
Itulah kata-kata yang biasa terlontar dari instruktur yoga, bersama iringan musik relaksasi, tiap kali aku mendengar sesi yoga di kantor.
Aku hanya pernah sekali mengikutinya, setelah aku sadar, olahraga ini hanya sempurna bagi mereka yang bertubuh sempurna. Oh ya, ini adalah hobi, capo di capi tutti (bahasa Italia: bos dari segala bos) di kantor kami.
Aku menyebutnya demikian, karena posisinya seperti berada jauh di atas langit. Diantara semuanya, inilah orang yang paling jarang berkunjung ke kantor. Ia seperti pesawat kepresidenan, yang hanya sesekali mendarat di bandara biasa.
Jika melihat profilnya, mungkin ia sudah mencapai banyak hal yang diimpikan orang: punya tubuh atletis, bisa piknik kemanapun, dan bisa membeli apapun yang ia mau. Andai pensiun sekarang pun tak masalah. Ia bisa menutup karir dengan keren, titelnya: Super Big Boss.
Tapi, di balik semua profil kerennya itu, aku melihat sesuatu yang mengerikan. Ada tumpukan amarah yang bisa meledak kapan saja, dan jiwa yang terkungkung di dunianya sendiri.
Benar, orang ini punya banyak ilmu, tapi cara pandangnya sudah terlanjur sempit, karena terlanjur silau dengan apa yang jadi obsesinya: terlihat hidup sangat sejahtera, dan punya citra positif.
Aku tak tahu, seberapa parah luka masa lalu yang ia punya, tapi ia punya hati yang bisa membantai habis sedikit saja kesalahan.
Tatapan matanya sepintas terlihat datar, penuh fokus, tapi sangat dingin. Semua perintahnya bak sabda nabi, siapa yang berani "berbeda" akan dianggap sebagai pendosa. Aku salah satunya.
Aku ingat, saat pagebluk menyerang, ia mengajak semua orang untuk beryoga di hari libur. Dengan tenangnya, aku tidak ikut, karena aku lebih memilih untuk beristirahat penuh.
Dengan kekacauan yang ada dan gaji yang tersunat, beristirahat sehari-penuh adalah obat terbaik untuk tubuh yang kelelahan ini. Rupanya, ini adalah satu bentuk pembangkangan buatnya. Apa boleh buat, aku pun jadi pesakitan.