Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Malaise

19 Agustus 2020   18:32 Diperbarui: 19 Agustus 2020   18:38 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bukan, ini bukan masa kelam bab pengantar Perang Dunia II. Inilah kata perangkum sempurna tahun kembar kali ini, dalam sebuah masa dimana teknologi digital sudah jadi nama tengah.

Aku ingat, detik awal tahun kembar ini dimulai, dengan hujan deras semalam suntuk di ibukota. Sebagian orang mungkin menganggap ini alamat banjir berkah. Ah, manusia memang cerdas dalam merencanakan dan menduga, seolah semua ada dalam genggaman.

Masalahnya, alam pun punya cara sendiri untuk berbicara dan memutuskan. Merekalah tuan rumahnya, manusia hanya titik kecil yang menumpang hidup di alam. Apapun polah sang alam, itu sudah mutlak, tak bisa diganggu gugat.

Jadi, sangat wajar jika alam ternyata berkata lain. Hujan semalaman itu hanya pertanda awal datangnya masa sulit. Benar saja, segera setelah hujan reda, ibukota lumpuh diterjang banjir besar.

Aku ingat, air membeludak di mana-mana, merendam apapun yang dilalui, dan membatasi ruang gerak siapapun yang lolos darinya. Dalam polahnya yang merajalela, air seolah berkata,

"Sebenarnya aku ingin masuk kembali ke dalam tanah, karena ada yang menyuruhku melakukan itu, sambil antri dengan tertib. Aku hanya sedang bingung, karena tanah di sini hampir semua tertutup beton, sampah, dan aspal. Bagaimana aku bisa masuk, kalau semua pintunya ditutup rapat?"

Pada akhirnya, air memang benar-benar surut di bulan kedua. Sepertinya, semua akan kembali normal, sebelum masalah lain datang di bulan ketiga. Kali ini, ia berwujud pagebluk mematikan.

Benar, pagebluk yang dimulai dari Negeri Panda ini mampu melumpuhkan dunia. Gara-gara dia, semua serba dikerjakan, layaknya memainkan sebuah drone. Semua serba terbatas dan dibatasi begitu rupa.

Semua orang lalu mencoba berdaya dalam keterbatasan, meski ada yang makin terbatas, bahkan terpuruk. Jujur saja, pagebluk ini sungguh memuakkan.

Mereka yang mati karenanya memang menderita, tapi yang masih hidup tak kalah merana. Ada yang harus sangat berhemat, ada yang kehilangan pekerjaan, ada yang kebingungan harus tinggal di mana, ada juga yang kelaparan.

Bagi mereka yang kaya tujuh turunan, pagebluk ini mungkin kesempatan pamer paling sempurna. Pamer makanan enak, pamer kumpul-kumpul sosialita, atau pamer foto liburan, dalam bungkus rasa syukur. Tak ada yang perlu dikhawatirkan, andai dunia sedang megap-megap sekalipun.

Bagi yang harus berjuang, pagebluk ini adalah lawan paling menjengkelkan. Gara-gara dia, hidup makin susah. Gaji makin berkurang adalah satu bentuk "New Normal" . Jangankan liburan, bisa makan dua kali sehari saja sudah sangat bersyukur.

Pagebluk sialan ini juga jadi penyebab paling umum, dari naiknya angka PHK. Semua perusahaan seperti sedang berlomba membuat PHK massal, layaknya ikut lomba makan kerupuk.

Mereka terlihat seperti kapal besar reyot yang harus mengosongkan semua isinya, hanya demi tidak tenggelam. Saking niatnya, mesin dan sekoci pun mereka buang semua. Apalah daya sebuah kapal besar reyot tanpa mesin dan sekoci, saat badai sudah menerjang? Ah sudahlah, mereka hanya ingin aman.

Pesangon? Makhluk apa itu?
Tunggakan gaji? Sudahlah, tak usah dibahas. Itu hanya bunga tidur.

Bagi mereka, kepergian kami serasa sebuah kemerdekaan. Merdeka dari beban gaji, merdeka dari beban pesangon.

Kami memang dimerdekakan dari pekerjaan, tapi tidak dari kebutuhan hidup sehari-hari. Kami bahkan harus siap terlunta-lunta menghadapi semua ketidakpastian.

Di mana negara? Entahlah. Ia begitu jauh, karena hanya bisa kami lihat dalam berita dan dunia maya. Ia hanya dekat, dengan mereka yang membuatnya tampak membanggakan di mata dunia. Kepada kami, ia seperti sedang amnesia.

Benar, negeri ini begitu haus pada kebanggaan dan pengakuan, sekaligus sangat memandang jijik sebuah penderitaan. Dijajah terlalu lama, ternyata memang kurang baik buat kesehatan mental.

Selama negara hanya hadir di acara berita dan seremonial, selama itu pula kami harus menderita. Ini aneh, karena selama ini negara selalu berkata "kami baik-baik saja.", bahkan saat bencana resesi sudah di ambang pintu.

Apanya yang baik-baik saja?

Mungkin, ini terdengar aneh, tapi beginilah realita hidup di negara berbunga nan ajaib. Di saat semua orang sedang susah, kenaikan tarif tetap ada. Andai daun kering, barang bekas, dan sampah bisa jadi alat bayar, tak akan ada protes. Malah, lingkungan akan jadi bersih karenanya.

Kami tak akan keberatan, kalau itu benar-benar dipakai sepenuhnya untuk kemaslahatan bersama, bukan untuk membayar gaji para tikus berdasi, yang hanya tidur saat seharusnya bekerja, atau para kadal petualang yang bermimpi makar, tapi mencari makan dari alat negara.

Bukannya kami tak sayang, tapi buat apa kami tulus menyayangi, jika yang coba kami sayangi malah membuat semua terasa kian pedih?

Pada awalnya, kami menang punya harapan dan semangat, seperti potongan lirik lagu "Risalah Hati"

Simpan mawar yang kuberi
Mungkin wanginya mengilhami
Sudikah dirimu untuk
Kenali aku dulu
Sebelum kau ludahi aku
Sebelum kau robek hatiku

Aku bisa membuatmu jatuh cinta kepadaku
Meski kau tak cinta kepadaku
Beri sedikit waktu
Biar cinta datang karena telah terbiasa

 
Tapi, pada akhirnya, bagian lirik lain lagu yang sama, secara ironis, juga menyadarkan kami, tentang bagaimana keadaan sebenarnya.

Hidupku tanpa cintamu
Bagai malam tanpa bintang
Cintaku tanpa sambutmu
Bagai panas tanpa hujan

Menyakitkan. Inilah yang membuat kami tak bisa berharap banyak, karena yang seharusnya bisa kami andalkan di masa sulit, justru gemar mempersulit keadaan. Mereka sudah terlalu nyaman dengan cara pikir: "Kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah?"

Gilanya, mereka yang memilih pergi justru dianggap "pengkhianat", saat sukses di tempat lain, setelah sebelumnya diping-pong kesana kemari, dan dicampakkan begitu saja. Apa cermin sudah lenyap dari peradaban?

Kami semua masih ingat, saat resesi dahsyat pernah menyerang, mantra "badai pasti berlalu" berkumandang di segala sisi. Semua kompak berlindung di balik mantra merdu ini, dengan penuh keyakinan.

Meski samar, harapan itu terlihat dari kejauhan. Pertanyaannya, apa jadinya jika wujud asli harapan itu ternyata bencana?

Benar, badai pasti berlalu, tapi kehancuran sudah menanti, apalagi jika ternyata ada bencana susulan. Lagi-lagi, yang lemah jadi tumbal.

Si kuat? Lari lintang pukang. Padahal, merekalah yang tadinya tampak begitu yakin. Mereka baru akan kembali setelah bencana dengan gaya bak pahlawan perang, saat si lemah sudah bergelimpangan tanpa daya. Secara memalukan, mereka mengaku diri paling berjasa.

Jadi, kami lebih suka berjuang  sampai akhir, karena itu adalah satu kehormatan. Dalam keprihatinan, kami berjuang sebagai sebuah kesatuan, sama seperti mereka di masa kemerdekaan. Mereka yang tak selalu  ingin diingat namanya, tapi selalu diingat pengorbanannya.

Memang, perjuangan mereka lebih mudah, karena melawan penjajah asing. Tapi, mereka jugalah yang melecut semangat kami untuk berjuang, melawan masa sulit, pembodohan, dan kebebalan di sekeliling kami.

Kami tak butuh pengakuan, jika perjuangan ini hanya untuk diaku-aku menjadi milik segelintir orang. Kami tak butuh bantuan, jika itu tidak nyata. Kami hanya ingin berjuang sampai akhir, dan pulih dari segala luka, bersama sang waktu yang terus berjalan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun